Fredrik J Pinakunary Ketum PPHKI Tindak Pidana Adat Tak Perlu di Formalkan

Ayo Bagikan:

Majalahgaharu-Jakarta Dalam diskusi publik Rancangan KUHP yang diselenggarakan pada tanggal 14 Juni 2021 di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Ketua Umun Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPHKI), Fredrik J. Pinakunary,SH,SE. menyampaikan pandangan PPHKI terkait Pasal 2 RKUHP mengenai berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam RKUHP, atau dengan kata lain merupakan Tindak Pidana Adat.

Menurut Fredrik, jika Pasal 2 Rancangan KUHP berlaku, maka akan ada kekuatiran terjadinya pelanggaran terhadap asas hukum ne bis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP, padahal Pasal 2 ayat (2) Rancangan KUHP tersebut dengan jelas menyatakan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, antara lain sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Misalnya seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan terhadap salah satu anggota suku oleh pelaku yang berasal dari suku lainnya pada suatu pulau. Dalam kasus tersebut, selain menjalani proses hukum pidana, pelaku juga diminta menjalani “sanksi adat” berupa kewajiban menyediakan pemberian secara adat untuk memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat adat.

Disamping itu, Fredrik juga mempertanyakan bagaimana eksistensi dari ne bis in idem nantinya sebagai asas hukum universal yang diakui masyarakat beradab, karena dalam hal pelaku pembunuhan berencana dipidana berdasarkan Pasal 340 KUHP lalu ditambah dengan hukuman (sanksi pidana adat), bukankah itu merupakan pelanggaran terhadap asas hukum ne bis in idem yang diakui secara universal oleh masyarakat beradab?

Selanjutnya, Fedrik juga menambahkan bahwa dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Rancangan KUHP menyebutkan bahwa perumus RKUHP telah memberikan dasar hukum berlakunya hukum pidana (tindak pidana adat) dalam bentuk kompilasi tindak pidana adat dalam

Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum adat. Nantinya Kompilasi Tindak Pidana adat tersebut akan memuat mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikualifikasi sebagai Tindak Pidana adat, sehingga Fredrik memprediksi akan lahir ratusan atau banyak Peraturan Daerah (Perda) mengenai Pidana Adat yang berdampak pada kebhinnekaan NKRI.

Oleh karena itu, Fredrik menegaskan bahwa tindak pidana adat tidak perlu “diformalkan” secara tertulis dalam suatu Perda, karena hakikat hukum adat adalah tidak tertulis, bersifat luwes, magis dan dinamis.

Selain itu, pengaturan tindak pidana adat dalam Perda dikhawatirkan akan menegasikan karakteristik otentik dari hukum adat yang berujung pada kesulitan bahkan terhambatnya penerapan hukum adat. Dalam situasi seperti sekarang, hukum adat masih tetap dihormati dalam proses peradilan di Indonesia berdasarkan pasal 18 B UUD 1945 jo. Pasal 5 ayat 3 huruf b UU Darurat No.1/1951

Dalam keterangannya, menurut Fredrik saat ini tingkat penyebaran penduduk Indonesia terjadi di berbagai wilayah, sehingga ada orang beretnis tertentu dan beragama tertentu yang menjadi minoritas di daerah-daerah terpencil di Provinsi Papua, demikian pula sebaliknya (ada yang menjadi minoritas).

Apalagi tindak pidana adat di beberapa daerah di Indonesia sedikit banyak telah dipengaruhi nilai atau ajaran agama di masing-masing daerah tersebut, sehingga jika Perda Tindak Pidana Adat sangat mungkin berbasis agama, misalnya kewajiban untuk memakai pakaian tertentu yang merupakan identitas suatu agama.

Kelahiran Perda Tindak Pidana Adat berbasis agama tentunya akan merugikan kepentingan masyarakat penganut agama (minoritas) di daerah tersebut, sehingga berpotensi menjadi aturan yang diskriminatif dan menciptakan konflik horisontal .

Lebih lanjut, Fredrik juga menambahkan bahwa lahirnya Perda-Perda Tindak Pidana Adat atau kompilasinya yang diberikan legitimasi oleh Pasal 2 RKUHP tidak sejalan dengan semangat pemerintah untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan dan juga tidak mendukung masuknya investasi yang sedang digalakkan Pemerintah. JPS

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Warga Tolak Pendirian Gereja, GAMKI: Peran FKUB Belum Maksimal Dalam Melakukan Edukasi Moderasi Beragama

Tue Jun 15 , 2021
Majalahgaharu-Jakarta Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) menyayangkan adanya penolakan terhadap rencana pembangunan rumah ibadah. Adapun penolakan dihadapi oleh Gereja Bethany di Kelurahan Bangunsari, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Ketua DPP GAMKI Bidang Hubungan Gereja dan Lembaga Keumatan, Dr. Andriyas Tuhenay, menegaskan, Indonesia adalah negara […]

You May Like