PGI: Gerakan Oikumene Harus Menghidupi Persahabatan Sebagai Gereja dalam Tubuh Kristus

Ayo Bagikan:

Jakarta Majalahgaharu  Relasi antargereja jauh dari baik. Kualitas yang tidak baik itulah yang mendasari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Sidang Raya di Sumba pada 2019, mengakui secara tegas adanya krisis keesaan gereja.

Menurut Sekretrius Umum PGI Pdt. Darwin Darmawan, bukan saja gereja bergerak ke arah berlawanan, sebaliknya Sebagian gereja hidup terisolasi, dan hidup untuk kepentingan sendiri, dan Sebagian saling bersaing dan curiga.

“Ada juga yang konflik, lalu mendirikan gereja baru dan berpisah,”ucap Darwin, dalam diskusi Seminar Pra Sidang Gereja Protestan di Indonesia (GPI), yang digelar secara onsite di Ruang Rapat Toar Lumimuut Pemkot Manado, Sulawusi Utara, dan melalui zoommeeting, Senin (21/7/2025).

Hadir nara sumber lain, Dekan FISIP Universitas Sam Ratulangi Dr. Ferry Daud Liando dan Ketua GPI, yang juga Komisioner Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesai (KPAI) Pdt. Sylvana M. Apituley.

Diskusi dipandu moderator Koordinator Komite Pemili Indonesia (TePI), Jeirry Sumampouw.

Darwin mengemukakan, perpecahan bukan hanya di gereja saja yang terjadi. Namun, perpecahan juga terjadi di sinode gereja.”Ketika tidak terpilih di sidang sinode kemudian buat sinode baru lagi,”sambung Darwin.

Darwin mengakui, selama ini gereja belum memenuhi gerakan keesaan. Lanjut Darwin, maka gereja-gereja belum memenuhi tugas panggilan bersama, bahkan gereja belum bisa menjadi jawaban panggilan dirinya dalam gerakan keesaan gereja tersebut.

Menurut Darwin, masing-masing gereja belum menjadi sahabat, akan tetapi masih menjadi mitra.

“Sebenarnya di dalam kemitraan ini ada sesuatu yang luhur dan baik, ingin bersama-sama menghadirkan kerajaan Allah dalam misi yang dikerjakan. Tetapi tanpa disadari di belakang istilah itu ada relasi a simetris, bisa dikatakan tidak demokratis. Relasi pihak yang bekerjasama kadang-kadang tidak setara atau satu sama lain berbeda,”tandas pendeta asal Gereja Kristen Indonesia (GKI) itu.

Menurut Darwin, ada mitra dianggap mampu dan kuat, dan ada mitra dianggap lemah perlu dibantu. “Mitra yang satu imperior, dan mitra yang lain superior. Tidak betul-betul sebagai satu tubuh Kristus yang sama mengerjakan panggilan ekumene dalam Tindakan yang sama,”ujarnya.

Darwin mengemukakan, minggu lalu hasil pertemuan dengan Sekretaris Jenderal United Evangelical Mission (UEM) Pdt. Dr. Andar GMP Pasaribu menilai relasi antara UEM dan mitra masih seperti patron dan klain.

“Beliau secara terbuka mengatakan kadang-kadang antara UEM dan mitranya itu cuma dilihat seperti patron dan klien. UEM punya uang memberikan sumbangan kepada klien, dan hanya melihat UEM sebagai donor, bukan sebagai tubuh Kristus yang sama-sama punya keunikan dan fungsi,”ucapnya.

Darwin menyebutkan, relasi seperti inilah yang mewarnai kehidupan gereja ekumen PGI. Ada gereja yang mampu dan mapan memberi. Sebaliknya, ada yang tidak mampu, dan yang satu menerima.

“Akibatnya relasi kemitraan menjadi subjek dan objek. Relasi seperti ini menggambarkan gereja ada yang berjalan di depan, dan ada yang di belakang. Belum betul-betul menjadi sahabat,”imbuhnya.

Gereja yang memiliki dana menganggap dirinya superior, dan harus memberikan arah. Gereja itu, lanjut Darwin, mendikte dan menentukan gereja yang dibantu. “Disinilah tidak terjadi sebagai sahabat atau sebagai “tubuh” Tuhan,”tambahnya.

Menurut Darwin, gereja-gereja di Indonesia dalam beroikumene masih dalam semangat organisasi formal, masih birokratis, dan organisasionis. “Belum hatinya dekat seperti seorang sahabat,”tuturnya.

Dia mengatakan, perjalana Oikumene ke depan mestinya bertolak dari spritualitas dan persahabatan (friendship sprituality). “Pentingnya menghidupi spritualitas persahabatan sebagai gereja,”imbuhnya.

Menurutnya, pentingnya gereja-gereja dalam Tindakan nyata Oikumene seperti yang dikerjakan gereja di Sumatera Utara (Sumut) menutup PT. Toba Pulp Lestari yang dinilai selama ini kontribusinya sedikit, akan tetapi merusak alam di Sumut).

“Tetapi karena tidak ada relasi persahabatan, gereja-gereja tidak mau mendukung satu sama lain karena saling mencurigai. Menganggap ini agenda sinode tertentu, bukan agenda bersama. Maka Ketika PGI diminta mempersatukan gereja-gereja kami melakukan pendekatamn informal, relasi persahabatan. Ini tidak boleh ada satu pihak lebih unggul, lebih tahu dan mampu sementara gereja lain hanya dianggap objek untuk mendukung penutupan TPL,”terang Dawrin.

Darwin mengatakan, kalau tidak betul-betul mengembangkan spritualitas persahabatan maka relasi antar gereja cenderung formal, birokratis dan legal maka keesaan dalam Tindakan akan susah diwujudkan.

“Gereja harus mengembangkan semangat sebagai sahabat sama seperti Kristus yang unggul, superior, tetapi berkenan merendahkan diri dan mau menjadi sahabat untuk sesamnya. Dalam semangat ini saya kira ekumene perlu dikembangkan agar kita bisa adaptif dan Tangguh menghadapi tantangan, termasuk menghadapi krisis demokrasi dan digitalisasi,”ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan FISIP Universitas Sam Ratulangi Dr. Ferry Daud Liando mengatakan, demokrasi di Indonesia perlu dikoreki karena tidak semua suara mayoritas benar. Dia menyebut, di tengah-tengah demokrasi Indonesia yang liberal peran gereja sangat minim dalam pemberdayaan jemaat.

“Bahkan gereja sudah mengarah industri ke arah matrealistik. Bagaimana Kristen kokoh kalau terjadi perdebatan yang tidak substansial di dalam gereja,”ujarnya.

Ferry mengatakan, gereja sekarang sudah dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan, dan hal ini menjadi tantangan berdemokrasi. “Hati-hati politik gereja juga sudah dimanfaatkan dalam kepentingan politik. Menjelang Pemilu kadang memanfaatkan pendeta untuk kepentingan politik.

“Karena itu peran gereja dalam demokarsi maka gereja dulu diperkuat demokrasinya, baru kita bisa mempengaruhi di demokrasi di negeri ini,”ujarnya.

Ketua GPI, Pdt. Sylvana M. Apituley menyebut, berdasar Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2020, ada 62 daerah tertinggal di Indonesia. “32 daerah tertinggal di Kabupaten Maluku, NTT, Sulawesi, dan Sulawesi Tengah. Sisanya ada di Papua, atau sekitar 48 persen,”ugkap Sylvana.

Dia tidak menafikan bahwa masalah perudungan (bully) masih terjadi di Indonesia terhadap anak-anak. “Bahkan bully terjadi karena perbedaan agama hingga mengakibatkan siswa kelas 2 SD, berusia 8 tahun di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), atas nama Kristofer harus menghadapi pembulian hingga tewas,”sebut Sylvana.

Menurut dia, gizi buruk tertinggi terjadi di Nusantara Tenggara Timur (NTT).”Pelaku kekerasan seksual dengan korbannya anak tertinggi di Sulawesi Utara. Namun, sayangnya pemerintah daerah masih tidak terbuka dalam mengatasi kekerasan di daerahnya. Padahal masalah luka sangat penting untuk diatasi, apalagi menyangkut anak,”ujar Sylvana. (Ralian)

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Jejak Sejarah 218 Tahun Keuskupan Agung Jakarta Semakin Kuat dan Lengkap Menjadi Simbol Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Tue Jul 22 , 2025
Majalahgaharu Jakarta Acara Syukur 218 Tahun Keuskupan Jakarta, 8 Mei 1807 – 2025 dengan topik membangun kepedulian lebih kepada saudara yang lemah dan miskin cukup meriah dirayakan dengan jalan santai sekitar 12.000 peserta di Katedral Keuskupan Agung, Jakarta hari Sabtu, 10 Mei 2025 bersama umat lintas iman dan lintas budaya […]

You May Like