JAKARTA, majalahgaharu.com – Hidupnya serba nyaman. Betapa tidak, mulai dari sekolah, kesehatan, beribadah ke gereja dan fasilitas lainnya yang memadai semasa kuliah di Amerika, ternyata tak membuatnya gadis asal Kanada berkewarga negaraan Amerika Serikat itu bangga dan senang. Justru membuat hatinya terusik dan terpanggil untuk menolong sesama. Maka dia mencari pengalaman berharga bersama Tuhan untuk pergi ke daerah yang agamanya belum ada.
Melalui informasi dan referensi yang di dapat maka negara Papua New Guinea adalah pilihan. Namun, melalui seorang temannya yang asal Amerika disarankan untuk ke tanah Papua. “Temannya itu berkata kepadanya, bahwa Indonesia telah mengijinkan visa bagi misionaris tapi di pedalaman Papua,” ujarnya kepada awak jurnalis di Kawasan Kemayoran Sabtu (19/11/2016).
Tanpa berpikir panjang lagi akhirnya Carolyn Crockett (fasih bahasa Indonesia dan bahasa Moi) tahun 1998 dia bersama suaminya memutuskan untuk ke Papua, tepatnya di Sentani. Selama 2 tahun di Sentani akhirnya tahun 2000 sampai sekarang dia memilih ladang pelayanannya di Daboto. Pengalaman pertamanya begitu menginjakan kakinya di suku Moi yang awalnya tidak diterima, pelan-pelan diterima, ujarnya menceritakan pengalamannya.
Kegigihan dan perjuangan Carolyn membuat Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP) yang dinakhodai Direktur YPHP, Hannah Achmadi tergerak hatinya mengulurkan tangan untuk membantunya. Melalui konser amal yang dicetuskan dan diprakarsai Grace Soedargo ini, maka hasil tiket penjualan konsernya seluruhnya disumbangkan untuk pendidikan anak-anak di daerah pedalaman Papua.
YPHP seperti disampaikan Hannah, mempunyai tugas memajukan pendidikan anak-anak pedalaman Papua. Dan suku Moi melalui pengabdian Carolyn diberikan bantuannya berupa pembangunan ruang kelas dan perlengkapannya, buku-buku bacaan untuk perpustakaan sekolah, Komputer, ujarnya.
YPHP sendiri memiliki komitmen membuka dua sekolah di pedalaman Papua setiap tahunnya yang bernama Sekolah Lentera Harapan (SLH). Tahun depan dipastikan daerah terpencil seperti Karupun dan Nalca masuk wilayah Yakuhimo
Perjuangan dan pengabdian Carolyn bukan hanya mengajar untuk memberantas buta huruf, tetapi sebagai perawat. “Saya senang dapat menjadi bagian dari suku Moi dan berharap mereka semakin hari semakin mengenal cinta kasih, sopan santun, bisa membaca dan menulis dan akhirnya mereka juga dapat membangun dan memajukan tanah Papua,” ungkapnya. “ Sebelumnya suku Moi mudah sekali marah dan langsung mengambil panah jika kemauannya tidak dituruti, namun sekarang sudah lebih baik, tutur Carolyn yang perjuangannya selama 16 tahun di Suku Moi, berhasil mendirikan sekolah pertama di bulan Agustus 2016 dengan jumlah muridnya 42 orang, yang usianya 12 tahun ke bawah, terdiri dari TK dan kelas 1 SD, tandas Carolyn dengan sukacaitanya. ronaldy