Jakarta majalahgaharu.com Penyempurnaan Peraturan Bersama dua Menteri (PBM) Menag dan Mendagri No.9 dan No. 8 Tahun 2006 di mana awalnya PBM itu diharapkan bisa mengatur persoalan kerukunan umat beragama khususnya pendirian rumah ibadah, namun belakangan justru menimbulkan problema, karena aturan itu acapkali merugikan bagi pemeluk dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan yang maka esa bagi mereka yang pengikutnya sedikit.
Berangkat dari keberadaan PBM yang bisa dikatakan kurang efektif malah justru menambah persoalan maka pihak pemerintah menaikan PBM tersebut menjadi PERPRES Kerukunan Umat Beragama dan Keyakinan.
Tujuannya menurut Kanjeng Astono ketua Perhimpunan Hindhu Dharma Indonesia (PHDI) agar peraturan tersebut semakin mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten kota.
“Menaikan PBM menjadi PERPRES ini agar ada gereget atau daya dorong lebih kepada pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota untuk lebih ditaati oleh kepala daerah”, tandas Kanjeng Astano mengawali paparannya dalam diskusi terbatas yang di gelar di sekretariat Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) di Juanda Jakarta Pusat.
Lebih lanjut Astono menguraikan bahwa rancangan perpres kerukunan umat beragama dan keyakinan ini sudah disusun serta diprakarsai PKUB dengan melibatkan lintas kementerian, dan untuk draf awal sudah dilakukan sebanyak 13 pertemuan
Kemudian majelis-majelis agama baru mengetahui dan atas inisiasi dari KWI mengundang lintas pimpinan agama-agama untuk membahas dan sekaligus memberikan masukan tentang Perpres tersebut.
Kenapa, tandas Astono kalau PBM ini sifatnya hanya mengatur tingkat propinsi dan kabupaten/kota sedangkan Perpres ini skala nasional maka perlu melibatkan semua pihak termasuk majelis-majelis agama bahkan para penghayat keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa.
Dalam diskusi yang melibatkan majelis-majelis agama inilah kemudian diketahui bahwa PERPRES perlu dilakukan penyermpurnaan, sehingga apa saja yang belum ada di PBM apakah perlu penambahan atau sebaliknya perlu dikurangi bahkan dihapuskan untuk dimasukan dalam PERPRES tersebut
Perlunya Mengakomodir Penghayat dalam Perpres
Dalam pembahasan PERPRES yang dilakukan para majelis agama ini ada yang menarik saat pembahasan tentang keberadaan penghayat, menurut beberapa majelis agama-agama perlu diikutsertakan dalam aturan yang ditetapkan, terutama saat pembentukan FKUB, kelompok penghayat perlu diberikan perwakilan di dalamnya.
Astono sebagai salah satu ketua PHDI hampir semua majelis agama non MUI, setuju memasukan saudara penghayat ini dalam PERPRES termasuk menjadi anggota FKUB. Sehingga ada usulan wajib memasukan unsur penghayat dan kepercayaan ketika dibentuk FKUB.
Sekalipun kemudian kata ini tidak dimasukan tetapi diubah narasinya dengan bisa dimasukan bukan wajib lagi. Namun menurut Astono itu langkah maju karena adanya pengakomodiran para penghayat dan keyakinan yang nantinya bisa masuk menjadi anggota FKUB.
Demikian pula dengan KWI sikapnya sama terhadap penghayat kepercayaan selalu mendukung baik ditempat lokal keuskupan tingkat nasional maupun internasional, tukas Edy perwakilan KWI yang hadir saat diskusi terbatas siang itu
Misalnya Sapto Dharmo di Semarang, keusukupan Semarang selalu mendukung dan mengadakan diskusi bersama, makanya terkait Perpres ini bagi KWI sangat mendukung untuk mengakomodir penghayat dan kepercayaan masuk dalam FKUB ini.
Sedangkan Pendeta Jimiy Sormin utusan dari PGI, tentang keberadaan para penghayat dan kepercayaan selalu dipercakapan baik lingkup internal PGi maupun gereja-gereja. PGI sendiri sangat konsen mendukung keberadaan para penghayat.
Salah satu dukungannya seperti mencoba membangun narasi baru mengenai enam agama yang diakui, harusnya ungkapan itu tak perlu lagi mendikotomi karena kelompok penghayat dan keyakinan itu memang diakui keberadaannya.
Kemudian bisa juga diwacanakan tentang kementerian agama kepana tidak ditambah dengan kemenetrian agama dan keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa. Dengan demikian akan membangun pandangan bahwa kementerian tersebut juga akan mengakomodir para penghayat dan berkeyakinan.
Sementara Dewi Kanthi dari Sunda Wiwitan dan sekaligus komnas perempuan menyoroti bahwa menjadi Indonesia harus saling menguatkan rasa dan berempati ini momentum beragama bukan atribut, artinya harus memanusiakan manusia dengan meneguhkan genitik sebaga jiwa Pancasila. boleh berbeda karakter tapi disatukan dalam ke Indonesiaan
Makanya gerakan moral tokoh agama perlu dikuatkan dalam kerjasama seperti hak konstitusional dan bernegara
Seperti yang disampaikan Pdt Jimmy Sormin dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pentingnya dialog dan kerjasama, bukan saja yang bersifat keagamaan dan keyakinan tetapio juga dikebangkan dengan kerjasama di bidang ekonomi untuk menghadapi krisis ke depan.
Lebih lanjut Dewi juga mengajak untuk tetap memperhatikan serta mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan bagi saudara yang rentan, mereka ini mau diapakan, maka seperti adanya istilah perlu satukan persepsi apakah memakai penghayat atau kepercayaan
Diskusi yang di gelar GMRI ini cukup menarik dan banyak masukan untuk rancangan PERPRES selain beberapa narasumber diatas demikian juga dengan Romo Sunardjo Sumargono yang bergerak di politik dan juga hukum ini lebih menyorot persoalan redaksional judul harus menggunakan bahasa hukum sehingga tidak menimbulkan multitafsir.
Masih banyak lagi berkenaan dengan masukan dalam diskusi yang menarik, namun tandas Eko Sriyanto Galgendu sebagai tuan rumah yang juga ketua umum GMRI, bahwa diskusi ini perlu ditindaklanjuti seperti membuat rekomendasi kepada kementerian terkait.
Selain itu perlu dipikirkan dan segera dilaksanakan adanya kirab budaya dari lintas majelis-majelis agama serta kelompok penghayat dan kepercayaan. Agar dengan semangat spiritualitas mampu mendodok atau mengetuk hati para pemangku kebijakan, sehingga upaya mendorong diakuinya para penghayat dan kepercayaan sebagai bagian integral bangsa ini tercapai.
“Pak Jokowi biasanya akan mendengar langsung apa yang dimaui masyarakat, maka kirab budaya menjadi sentral sebagai upaya memberikan masukan kepada Pak Joko Widodo sebagai presiden”, tandas Eko yang dekat dengan kerabat pak Jokowi di Solo ini.
Semangat yang sama juga disampaikan KH Ahmad Gufron Sambara yang mengajak untuk serisu menindaklanjuti hasil diskusi ini bahkan Gufron mengusulkan untuk digelar kembali diskusi ini dan hasilnya akan di serahkan kepada kementerian terkait melalui para deputy kementerian.
Yusuf Mujiono aktivis media Nasrani juga turut bicara, bangsa ini perlu kembali pada semangat spiritualitas dengan menumbuh kembangkan budaya leluhur yang ada. Maka sebaiknyauntuk mendorong pihak pemangku kepentingan agar mengakomodir kepentingan kaum penghayat dan berkeyakinan ini perlu menggelar kirab budaya,.
Karena dengan budaya ini menjadi penting ketika sebagai orang timur yang terkenal santun dan mengedepankan keadapan gelar kirab menjadi sarana untuk mendorong pemerintah mengakomodir para penghayat dan kepercayaan ini merupakan langkah yang strategis.
“Ibaratnya dengan kirab ini sekaligus kembali nguri-nguri budaya bangsa dan juga mendorong pemerintah untuk mendengar suara sebagian masyarakat Indonesia”, tutupnya. .
Dalam pertemuan siang itu hadir dari berbagai utusannya antaranya Eko Sriyanto Galgendu ( GMRI), KH. Ahmad Ghufron, Kanjeng Astono ( PHDI), Romo Asun ( Walubi), Ibu Dewi Kanti( Sunda Wiwitan), Romo Agustinus Heri Wibowo ( KWI), Romo Narjo Sumargono ( LPK), Romo Rohmat Hidayat (MLKI), Gin Gin Akil ( Sunda Wiwitan ), Xs Budi Tanuwijoyo ( Matakin), Romo Kelik Prayoga ( Pak Kencoko), Pdt Jimmy Sormin ( PGI), Yusuf Mujiono ( Pengkaji Budaya dan aktivis media di damping Donny Leonardo Pewarna, Jacob Ereste ( Penulis Budaya) dan Staf Komnas Perempuan