Jakarta majalahgaharu.com Perpres kerukunan umat beragama dan kepercayaan yang akan menggantikan Peraturan Bersama menteri (PBM) saat ini rancangannya sedang di godok di lintas kementerian antaranya Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kemenkumham.
Terkait adanya Perpres tersebut menurut majelis agama-agama masih perlu dilibatkannya kelompok penghayat, yang notabene memiliki kedudukan yang sama, diatur dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1. Di mana menurut para majelis agama Perpres ini sudah seharusnya juga mengakomodir kepentingan kelompok penghayat tersebut.
Menyikapi persoalan tersebut Eko Sriyanto Galgendu Ketua Umum Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) yang juga salah satu ketua penganut kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa ini, menyelenggarakan rembug bersama dengan beberapa tokoh penghayat seperti Romo Engkus Ruswana (MLKI), Gus Gin Gin (Spiritual Padjajaran), Kanjeng Kencano ( Ajisaka), Gajah Anom Gde Pharma (LPK), Dewi Kunthi (Sunda Wiwitan) dan beberapa pemuka agama antaranya Kanjeng Astono (PHDI), KH Ahmad Gufron Sembara (Ketua Dewan Pembina IPHI ), Romo Agustinus Heri Wibowo dan tim dan Jocab Ereste, Yusuf Mujiono dan Donny Leonardo dari praktisi media.
Pertemuan para penghayat Selasa 6 /9/22 difasilitasi KWI Sekretaris Eksekutif Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan KWI ( Konferensi Wali Gereja Indonesia) dan para pengurus KWI Romo Agustinus Heri Wibowo di ruang rapat lantai II jalan Cikini 2 no 10 Jakarta Pusat.
Acara temu para penghayat ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan di Juanda di sekretariat GMRI beberapa waktu yang lalu. Di mana dalam agenda tersebut menindaklanjuti usulan sebagai masukan Perpres sebelum ditetapkan dan juga diadakannya kirab budaya sebagai bentuk gerakan yang berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa.
Romo Herry selaku tuan rumah menyampaikan salam dari pimpinan yakni Romo Yohanes yang saat ini ada di Palembang, selanjutnya mengenai perjuangan para kelompok penghayat pihak KWI sangat mendukung terutama menjadikan semua anak bangsa setara. “KWI siap mendukung penuh untuk perjuangan para penghayat, dan sebagai teman harus memahami apa yang menjadi kebutuan teman tersebut”, tandasnya serius.
Menurut Romo Herry tak dipungkiri bahwa kesetaraan itu masih mimpi dan perlu diperjuangkan karena para penganut agama masih memahami para penghayat ini bukan agama tapi masih dianggap para penghayat ini sebagai primitif. Romo berjanji akan memberikan ruang seluas-luasnya bagi kelompok penghayat untuk apa saja yang bisa KWI bantu akan membantu. Bahkan untuk mengerti lebih jauh tentang penghayat ini, akan membuat suatu seminar kebangsaan yang narasumbernya pimpinan dari penghayat, agar jemaat Katholik juga memahami apa itu penghayat.
Eko Sriyanto Galgendu yang siang itu memimpin pertemuan tersebut mencoba memaparkan tentang keberadaan kaum penghayat yang sebetulnya dari para penghayat inilah nilai-nilai luhur budaya bangsa tetap terpelihara. Karena terang Eko tidak akan ada agama yang mencoba menjelaskan sejarah para leluhur seperti kebesaran Sriwijaya, Majapahit dan sebagainya. karena agama akan lebih menceritakan keagungan di mana agama itu berasal.
Maka tak heran karena sudah keluar dari adat warisan leluhur kemudian muncul kelompok radikal dan terorisme. Maka eko sangat yakin untuk menanggulangi radikalisme dan teroris bisa diselesaikan dengan adat dan budaya. Kemudian berkenaan dengan Perpres terkait judul perlu dirubah dan usulan perubahan judul ada beberapa antaranya Kerukunan hidup berketuhanan, kesatuan hidup berketuhanan, kemanusiaan hidup berketuhanan dan keadilan hidup berketuhanan
Peran penghayat terhadap kehidupan beragama menurut Engkus kontribusinya soal nilai-nilai kearifan di mana ada kekacauan, yang bisa mendamaikan adalah nilai-nilai lokalnya. Misalnya di Ambon dengan pelagandongnya, di Papua dengan bakar batunya demikian juga daerah-daerah lainnya.
Lebih lanjut Romo Engkus dari MLKI mengatakan bahwa karakter dasar bangsa kita harmoni damai dengan alam yang indah, makanya itu tergambar dengan manusianya yang membawa karakter damai dan tenang. Ini ditunjukan ketika agama apapun masuk ke Indonesia diterima dengan baik. Sebaliknya karakter yang keras dibawa ke sini Indonesia red oleh ajaran luar sehingga terjadi benturan.
Selanjutnya Romo Engkus mencoba menjelaskan bahwa para penghayat ini dicoba disingkirkan dengan istilah animisme dan dinamisme seakan tidak diakui padahal sejak semula kaum penghayat sudah mengenal konsep Tuhan baik Lombok, Batak, dan daerah lainnya.
Sedangkan KH Ahmad Gufron Sembara Ketua dewan IPHI mencoba akan memfasilitasi para penghayat itu bisa audensi dengan kementerian agama, sehingga apa yang menjadi masukan dari para penghayat ini bisa diakomodir karena bagaimanapun pemelihara kearifan lokal adalah para penghayat ini.
Senada dengan romo Engkus demikian juga dengan Gajah Anom Gde Pharma sekjen LPK bahwa nilai nilai kearifan lokal itu yang menyelesaikan. Gajah Anom sangat meyakini bahwa penghayat suatu pilihan di mana tidak ada sekat karena di penghayat boleh beragama apapun, penghayat pemahaman seluas nuswantara.
Lanjut Gajah Anom bahwa penghayat sebagai leluhur punya hubungan yang menarik bisa membaca alam hubungan manusia dan alam, penghayat itu multinatural, penghayat memiliki instrumen yang memadai dalam membaca alam. penghayat itu berketuhanan dengan konsep alam theo ekologi bagaimana memahani keramahan Tuhan yang penuh kasih dan keindahan
karena bicara nusantara bukan sesuatu yang terpisah, kemudian Dewi Kanthi dari Sunda Wiwitan
bahwa penghayat ini terhalang adanya politisi agama, padahal penghayat sebagai sebuah akar ibarat bangsa ini pohon besar penghayat inilah akarnya.
Kelompok penghayat penopang keutuhan bangsa ini, penghayat itu bukan menyebarkan tetapi lebih pada penguasan diri bukan menguasai orang lain.
Romo Astono PHDI bahwa sesungguhnya Hindu adalah agama yang memadukan antara keyakinan agama dan penghayat seperti membaca alam atau lokal genius itu Hindu juga seperti itu. Namun dalam pertemuan ini pointnya kita ingin memberikan masukan para penghayat dalam Perpres dan itu sudah merupakan kesepakatan bersama. Dan teman teman penghayat sudah ada di Perpres namun masuh perlu langkah-langkah penguatan.
Menarik dalam pertemuan siang itu Romo Agustinus Heri Wibowo mengajak untuk menghilangkan istilah minoritas dan mayoratas karena di negara ini tak mengenal istilah tersebut. Pesannya bahwa KWI, PHDI dan beberapa majelis agama sudahs epakat Perpres perlu mengakomodir kelompok penghayat tinggal teman-teman Penghayat harus berbicara dan memberikan usulan Perpres tersebut.