MENJADI MEDIA YANG MAWAS DIRI DI TENGAH VIRUS POST TRUTH

Ayo Bagikan:

Oleh : Yulius Aris Widiantoro

Majalahgaharu.com Jakarta Slogan slow news, no news yang melekat kuat pada CNN menjadi penanda bagaimana media berpacu dan bersaing secara ketat dalam menyampaikan informasi kepada publik. Kecepatan penyampaian berita menentukan eksistensi media (elektronik maupun cetak) di mata publik ke depannya dan juga rating sebagai bagian dari komoditas kapital. Menjamurnya media yang dibayang-bayangi konglomerasi maupun elite power bahkan tidak kita pungkiri beberapa pemilik media masuk dalam lingkaran politik, disadari atau tidak memaksa media bekerja di luar batas kewajaran. Kecepatan menjadi satu-satunya jurus jitu.

Perkembangan media tentu saja kita sambut dengan baik karena bagian keniscayaan perubahan zaman dan medialah yang melahirkan apa yang disebut oleh Fabrizio Gilardi dengan term ‘demokrasi digital’ yaitu suatu masa dimana obrolan demokrasi menjadi kian bebas dan siapapun berhak berkomentar. Sayangnya, absennya pikiran kritis menjadi celah yang mendesakralisasi demokrasi. Demokrasi menjadi brutal.

Kita tidak mengelak akan muncul media yang ikut dan larut memanaskan suhu politik, menjelang pesta demokrasi 2024. Bisa jadi nalar sehat dalam bermedia berubah menjadi gemar memborong dan memproduksi berita sensasional tanpa memperhatikan kode etik jurnalistik. Media ‘menunda’ melalukan verifikasi demi tuntutan sensasi berita–sensasi mendahului verifikasi–inilah nafas dari post truth. Kekhawatiran kita bersama adalah media yang diyakini selektif dalam pemberitaan berubah menjadi ajang gossip, hoaks, hate speech bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi prototype kejahatan–setidaknya kejahatan secara verbal. Dengan kata lain semua yang datang dari media selalu kita terima begitu saja (taken for granted) sebagai yang benar dan telah lulus sensor. Itu sebabnya media memiliki peran penting memastikan setiap informasi melalu seleksi ketat sampai pada akhirnya layak dikonsumsi publik.

Demikianlah jika politik telah didistrosi sebatas perebutan kekuasaan, maka apapun akan digunakan untuk mewujudkan nafsu banal. Lebih-lebih jika media membuka kesempatan demi eksistensi dan rating, dan pada akhirnya hoaks menjadi sangat powerfully. Ironisnya, masyarakat di sekitar kita bahkan barangkali kita termasuk di dalamnya menerima hoaks sebagai yang benar. Dan kebenaran yang datang kemudian justru dianggap kadaluarsa. F. Budi Hardiman menggambarkan secara dramatis bahwa media telah menjadi ruang indoktrinasi dan media gemar menghadrikan ‘pakar dadakan’.

Oktober 2018 kita dihebohkan dengan ‘skenario’ kasus Ratna Sarumpaet yang terbungkus manis dalam suasana politik, beberapa media pun tidak ketinggalan menyediakan Bahasa yang memantik beragam opini di masyarakat. Padahal tidak benar bahwa Ratna Sarumpaet mengalami kekerasan: muka lebam diakibatkan efek dari sedot lemak di pipi. Sekalipun pada akhirnya media melalukan koreksi tetapi sebagian masyarakat terlanjur menerima kebohongan sebagai kebenaran.

Politik yang minim gagasan membuat kita semua berada pada ‘ruang gelap’ demikian Armada Riyanto dalam Bab ‘Politik sebagai Diskursus’ menggambarkan politik di Indonesia. Istilah post truth pertama kali digunakan oleh Steve Tesich pada tahun 1992 dalam esainya yang berjudul The Nation. Sebuah esai yang memaparkan wacana politis. Istilah post truth kembali di tahun 2004 melalui refleksi mendalam Ralph Keyes mengenai peranan kuat media dalam menggerakan kebohongan massal (media driven world). Post truth lahir karena suatu ketakutan, dan mensubdordinasi kebenaran.

Heru Nugroho menegaskan bahwa politik seharunya berisikan ajakan dan partispasi warga dalam membangun peradaban dan kebebasan berekspresi. Tetapi kenyataannya kebebasan dimaknai secara peyoratif. Kita memang tidak menutup kemungkinan bahwa anasir politik yang kuat berhasil membajak media, sehingga media kehilangan idealismenya. Haryatmoko menjelaskan bahwa ideaslime media yaitu memberikan informasi yang benar, sehingga media menjadi sarana edukasi bagi masyarakat.

Apa yang perlu media lakukan dalam menyajikan informasi yang benar dan edukatif? Prinsip etis menjadi prasyarat bagi pelaku media dalam menjajakan berita kepada masyarakat. Etika harus selalu dilibatkan dalam setiap perilaku bermedia. Mikhael Dua menuliskan secara baik bahwa Etika sebagai sebuah pertimbangan rasional. Namun sayangnya Etika dipandang sebagai post factum, sesudah muncul gejolak baru dilibatkan untuk memberikan pertimbangan rasional dan solusi. Seharunay Etika menjadi pra factum, selalu dilibatkan bahkan ketika sesuatu itu masih berupa wacana. Dengan begitu segala macam peristiwa melalui seleksi rasional yang ketat.

Dampak yang ditimbulkan akibat hoaks bahwa ada ribuan bahkan jutaan wajah masyarakat yang dibohongi. Media mencitrakan seseorang sebagai wajah yang teraniaya secara politis. Armada Riyanto dengan mengutip Etika Levinasian bahwa wajah bukan sekadar elegi ironis sistem tetapi juga gambaran cita rasa keadilan yang perlu mendapatkan informasi yang benar. Etika tidak sekadar menjamin hak berkomunikasi di ruang publik dan hak informasi yang benar tetapi juga memiliki prinsip deontologi profesi yang rigid demikian Haryatmoko mengutip B. Libois. Dalam prinsip deontologi jurnalisme harkat dan martabat manusia perlu dijunng tinggi dengan cara melarang semua bentuk provokasi yang menimbulkan prasangka dan perpecahan. Pelaku media tidak hanya memperjuangkan eksistensi dan demi mencapai rating dengan mengorbankan prinsip fundamental dalam menjaga kualitas berita yang steril dari segala macam anasir khususnya anasir politik dan komoditas ekonomi.

Penulis : Dosen di Universitas Bunda Mulia

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Penguatan Koperasi, BUMN Dan Usaha Swasta Untuk Pemerataan Ekonomi Ke Seluruh Nusantara.

Thu Jul 13 , 2023
Oleh: Merphin Panjaitan. Majalahgaharu.com Jakarta Koperasi, BUMN, dan Usaha Swasta diperkuat dan diberi kesempatan berkembang sesuai dengan fungsinya masing-masing; peran ekonomi mereka dibuat berimbang, Koperasi 40 %, BUMN 30 %, dan Usaha Swasta 30 %. BUMN ditugaskan meningkatkan penerapan dan pengembangan ilmu, teknologi dan seni di segala sektor ekonomi, industri, […]

You May Like