Mengafirmasi Makna Syalom Bagai Kedamaian Bangsa

Ayo Bagikan:

Oleh : Dr. Gernaida Krisna R. Pakpahan

Syalom yang Tidak Bermakna

Majalahgaharu Jakarta Kata syalom dalam tradisi Alkitab sarat dengan makna: damai, sejahtera, utuh, rekonsiliasi dan selaras dengan kehendak Allah. Namun, dalam praktik sehari-hari, kata ini sering kali kehilangan bobotnya. Ia begitu mudah diucapkan di pintu gereja, dalam liturgi ibadah, atau saat saling menyapa, tetapi hanya berhenti sebagai formalitas. Syalom berubah menjadi sekadar kata pembuka atau penutup percakapan yang rutin, tanpa kesadaran mendalam akan makna spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya.

Tidak jarang, kata syalom justru keluar dari mulut yang masih menyimpan luka, kebencian, dan kekesalan terhadap sesama. Dalam sebuah pertemuan ibadah, orang bisa dengan fasih menyapa “syalom” sambil berjabat tangan, tetapi di balik itu masih ada hati yang enggan mengampuni. Fenomena ini menunjukkan bahwa syalom telah direduksi menjadi basa-basi rohani. Ia kehilangan roh pembaruan dan rekonsiliasi yang seharusnya menyertai setiap ucapan damai.

Akibatnya, syalom yang sejatinya adalah wujud dari kehadiran Allah dalam relasi yang adil dan penuh kasih, terdegradasi menjadi slogan kosong. Umat lupa bahwa mengucapkan syalom berarti juga berkomitmen untuk menghadirkan damai dalam hidup nyata: memaafkan, memperbaiki hubungan, dan memperjuangkan kesejahteraan bersama. Jika tidak demikian, maka kata itu hanya menjadi gema tanpa isi, indah di telinga, tetapi hampa di hati. Syalom harus dikembalikan kepada posisinya yang membawa kedamaian, bukan hanya bagi pribadi, tetapi bagi bangsa juga.

Indonesia yang Memerlukan Syalom

Bangsa Indonesia terus mendambakan kedamaian. Tetapi kedamaian yang kita lihat di permukaan sering kali rapuh, mudah retak ketika konflik horizontal, pertarungan politik, atau gesekan identitas muncul. Kedamaian sering dipahami sekadar sebagai ketiadaan pertikaian. Padahal, kedamaian yang sejati jauh lebih dalam dan lebih kaya. Syalom bukan sekadar “tidak ada perang.” Kata ini menyiratkan makna yang utuh: kesejahteraan, keutuhan, keselamatan, kelimpahan, dan hubungan yang selaras antara Allah, manusia, dan ciptaan. Syalom adalah kondisi di mana keadilan ditegakkan, kebutuhan hidup terpenuhi, relasi sosial terjaga, dan manusia hidup dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya.

Contoh yang jelas terlihat dalam kitab Yesaya. Nabi Yesaya melukiskan Syalom sebagai buah dari kebenaran: Hasil kebenaran ialah damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya” (Yes. 32:17). Artinya, damai sejati tidak mungkin lahir tanpa keadilan. Jika ada penindasan, korupsi, atau ketidakadilan struktural, maka damai itu hanyalah semu. Syalom dalam Perjanjian Lama dan yang dipercayai umat Kristen selalu terkait dengan tegaknya hukum Allah yang membela kaum miskin, yatim piatu, dan janda, kelompok rentan yang sering diabaikan.

Kitab Mikha bahkan merangkum panggilan itu dengan sederhana namun mendalam: “Telah diberitahukan kepadamu, hai manusia, apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi. 6:8). Ayat ini menunjukkan, Syalom bukan hanya cita-cita, tetapi juga panggilan moral dan sosial. Damai tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial, kesetiaan dalam relasi, dan kerendahan hati di hadapan Allah.

Jika kita melihat konteks bangsa Indonesia hari ini, pesan Syalom terasa sangat relevan. Indonesia sering mengklaim diri sebagai bangsa yang rukun, namun pada saat yang sama kesenjangan ekonomi masih menganga lebar. Selain itu, kerusakan lingkungan di berbagai daerah memperlihatkan bahwa relasi manusia dengan ciptaan juga terganggu. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan krisis iklim adalah tanda bahwa harmoni ciptaan yang dikehendaki Allah sedang rusak. Syalom mengingatkan kita bahwa kedamaian bangsa tidak bisa dipisahkan dari keseimbangan dengan alam.

Kita pun melihat masih adanya diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan atas nama identitas. Padahal Syalom menekankan hidup berdampingan dengan damai. Syalom adalah panggilan untuk hidup dalam relasi yang benar: dengan Allah, dengan sesama, dan dengan bumi. Dalam konteks Indonesia, itu berarti membangun bangsa dengan dasar keadilan, kepedulian sosial, dan kesetiaan pada kebenaran. Damai bangsa tidak bisa hanya diukur dari aman atau tidak adanya konflik, tetapi dari seberapa jauh rakyatnya merasakan keadilan, kesejahteraan, dan martabat yang utuh.

Maka, berbicara tentang kedamaian bangsa dalam terang Syalom berarti berbicara tentang perjuangan konkret. Membangun sistem ekonomi yang berpihak pada yang lemah adalah bagian dari Syalom. Merawat bumi sebagai rumah bersama adalah bagian dari Syalom. Menghapus diskriminasi dan memperkuat solidaritas sosial adalah bagian dari Syalom. Syalom adalah visi besar yang harus menjadi dasar perjalanan bangsa Indonesia jika ingin benar-benar damai.

Syalom meneguhkan kita bahwa damai tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu berkelindan dengan keadilan, kasih, dan kesetiaan. Damai yang sejati adalah damai yang adil. Damai yang menyejahterakan. Damai yang membebaskan. Inilah cita-cita yang bisa kita bawa dalam kehidupan berbangsa: menghadirkan Syalom Allah di tengah Indonesia yang terus berjuang merajut persatuan dan mewujudkan kesejahteraan.

Penulis adalah Dosen STT Bethel Indonesia Jakarta

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Menjaga Ingatan, Menyembuhkan Luka Bangsa

Fri Sep 5 , 2025
Oleh : Dr. Gernaida Krisna R. Pakpahan Majalahgaharu Jakarta Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan sejarah panjang penuh dinamika. Dari masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, hingga era reformasi, kita tidak bisa menutup mata bahwa perjalanan itu menyisakan banyak luka. Luka karena penindasan kolonial, luka karena konflik antar-saudara, luka karena ketidakadilan […]

You May Like