JAKARTA, MAJALAHGAHARU.COM — Beredarnya data statistik penelitian tentang pelanggaran hamba Tuhan berkaitan dengan narkoba, merokok, minuman keras dan perselingkuhan sempat menjadi soroton ramai diperbincangkan di media sosial. Simpang siur sumber penelitian yang sempat juga ditiupkan dikeluarkan Direktorat Bimbingan Masyarakat Kristen ketika dikonfirmasi langsung kepada Oditha Hutabarat selaku Dirjen Bimas Kristen langsung menyanggah bahwa data tersebut bukan berasal dari lembaganya.
“Saya baru tahu nih dan tidak ada laporan soal peneltian seperti itu. Saya kira melihat persentasi seperti itu agak kurang masuk akal ya apalagi objeknya pendeta,” tegas Oditha Hutabarat kepada GAHARU di kantornya akhir April lalu. Dirjen Bimas Kristen perempuan pertama ini saat itu juga langsung mengecek ke bawahannya, dan memang dipastikan sumbernya bukan dari Kementerian Agama.
Kemudian Oditha Hutabarat menjelaskan keberadaan lembaga semacam Dirjenbimas Kristen berada di tingkat pusat jadi tidak langsung berurusan dengan pendeta. “Kami ini pembina aras, sinode atau yayasan. Meski demikian setiap kesempatan kami selalu mengingatkan pentingnya keteladan agar pendeta jangan bikin malu. Para hamba Tuhan harus memberikan keteladanan dalam sikapnya dalam konteks masyarakat majemuk,” tutur perempuan murah senyum dan ramah ini.
“Saya selalu katakan bahwa revolusi mental dalam bahasa teologisnya ya bertobat. Berubah 180 derajat dari hati. Hati harus bersih, pikiran dan perbuatan selaras serta etos kerja harus berubah,” tutur perempuan yang pernah menjabat Kanwil Kementerian Agama Papua ini. Diakuinya dengan terus terang, bahwa pendeta tidak semua melakukan yang terbaik karena mereka juga manusia biasa. Karena itu, untuk mengawasinya maka harus ada kontrol.
“Ya saya kira mengontrol mereka harus lewat ADRT (tagar talak) sinode gereja masing-masing. Kalau seorang pendeta melanggar aturan dan norma saya kira wajib dapat sanksi,” ungkap Oditha Hutabarat yang mengaku memantau semua gereja dalam hal kepemilikan AD/ART.
Kumpulkan Pendeta
Dalam rangka pembinaan sesuai tupoksi Kementerian Agama bahwa Bimas Kristen mengakui bahwa pihaknya sering juga mengumpulkan pendeta-pendeta di berbagai wilayah yang difasilitasi Pembimas masing-masing daerah. Ini terkait dalam rangka pembinaan dan pengawasan pendeta.
Menurutnya karakter jati diri sebagai hamba Tuhan itu penting. Jangan hanya bangga dengan jabatan pendeta tapi perbuatan dan karakter tidak demikian. Apalagi tantangannya banyak jenis kepemimpinan gereja semisal presberiterian, eviskopal maupun gereja atonomi.
“Yang paling susah diawasi saya kira gereja otonomi ini. Soalnya dia dengan mudah merekrut pendeta dan kalau tidak cocok dikeluarkan begitu saja meski sudah lama melayani. Ada yang melapor ke saya dan saya bilang musti diselesaikansesuai AD/ART. Biasanya saya langsung telepon gembala sidangnya untuk membuat mediasi,” beber Oditha Hutabarat yang selalu mengusahkan agar penyelesaian kasus seperti ini tidak sampai di bawa ke pengadilan.
“Itu kan malu-maluin gereja dan hamba Tuhan saja,” tukasnya. Oditha mengakui bahwa dari pengamatannya selama ini memang ada juga sampai masuk pengadilan, meski biasanya itu terkait dengan alasan rebutan jabatan, aset dan kekuasaan.
Gereja harus bicara leadership. Jangan sampai pra pendeta dan jamaam tidak tahu ada Tagar Talak (AD/ART). Kembali ke tagar talaknya, jika tidak bisa ya baru selesaikan. Diakuin dalam kasus laporan ke Dirjen Bimas Kristen juga ada yang nakal dengan mengubah tagar talak tanpa dilaporkan. Yang seperti ini, kata Oditha jelas ada niat buruk. Setiap perubahan AD/ART harus ada aktan notaris dan dilaporkan ke kementerian agama.
Oditha memberi contoh sengketa GKSI yang dimediasi olehnya karena kedua pihak datang Bimas Kristen. “GKSI sudah dua kali datang dengan kedua pihak yang bersengketa. Meski yang lalu belum clear namun terakhir ini sudah mau datang dengan keinginan ada Sinode Am. Sekarang paling tidak ada respon yang baik. Ada titik teranglah. Solusinya dua-duanya kita hargai, payungnya ya Sinode Am,” tandasnya.
Masalah Pendidikan
Ditanya terhadap banyak pelanggaran yang dilakukan pendeta terutama dalam melanggar etika, moral termasuk AD/ART gereja, bagaimana mencegahnya ke depan? Oditha memberi masukan bahwa yang pertama kembali ke pendidikan keluarga yang nomor satu. Menurutnya sejak dini suami istri harus mendidik anak untuk bertanggung jawab. Ketika mereka menjadi hamba Tuhan kelak akan menghindari perilaku menyimpang.
Yang kedua, sambung Oditha, menegaskan kembali pentingnya komitmen terhadap panggilan. Kalau hamba Tuhan ya perilaku harus menjadi seperti Yesus. Ketiga, selalu memperbaharui diri. Setia berhubungan dengan Tuhan. Artinya ada persekutuan yang erat dengn Tuhan. Tidak boleh hanya ngomong (kotbah) saja karena nanti bisa mengalami kekeringan. Karena itu mutlak terjaga persekutuan yang intens dengan Tuhan.
“Jujur saya bangga sekali dengan Ahok. Dia selalu bersekutu tiap hari dengan anak dan istrinya. Bahkan mereka sudah berkali-kali tamat baca Alkitab. Padahal Ahok bukan pendeta lho. Dia hanya umat biasa. Nah harusnya pendeta melakukan lebih seperti yang dilakukan Ahok dan keluarganya,” papar Oditha mengingatkan pentingnya persekutuan keluarga.
Oditha juga menyinggung tantangan dalam membina umat Protestan. “Bayangkan saja saat ini tercatat 323 Sinode Gereja Protestan. Jujur saja ini sangat sulit dikomandoi karena masing-masing punya standar berbeda. Beda sekali dengan Katolik yang semua bisa diatur dari Vatican,” urainya.
Dalam rangka membina ketertiban gereja ke depan, kata Oditha dengan terus terang bahwa pihaknya sudah mengirimkan surat edaran kepada gereja-gereja untuk mendaftar ulang.
“Kita sudah kirimkan surat edaran dengan membuat persyaratan nanti dibicarakan. Jika ke depan gereja tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan maka gereja tersebut harus ditutup. Kalau tidak akan dikasih pilihan untuk bergabung dengan sinode gereja lain,” tegas Oditha yang kembali menegaskan sejak moratorium 2013 sudah tidak ada penambahan sinode gereja.
Tujuan lain dari kebijakan ini, papar Oditha, agar ke depan jangan sampai terjadi lagi jual beli akta sinode gereja. “Saya baru tahu hal ini dari seorang pendeta, saya kira hal seperti ini sama saja akta bodong dan ke depan tidak boleh terjadi lagi,” tegas Oditha sembari menyayangkan realitas yang terjadi sekarang bahwa ada satu gereja yang satu sinode. “Ini bahaya sekali saya kira harus ditinjau lagi. Kita mau menata kembali,” imbuhnya.
Kembali ke perilaku ada banyak pendeta yang menyimpang yang sangat mengkuatirkan belakangan ini, sebaiknya apa yang harus dilakukan? Menurut Oditha penting hamba Tuhan melek Information Technology (IT) agar tahu zaman kearah mana. Setidaknya pendeta tahu perkembangan, bahaya dan dampak IT. Selain itu, kata Oditha menambahkan, pendeta juga harus mencermati ajaran-ajaran yang aneh dan menyesatkan. Harus kembali ke dasar yakni kitab suci. Jangan dikoreksi lagi kitab suci sesuai keinginannya karena founding fathers gereja sudah canonisasi dahulu.
“Saya berharap hamba Tuhan berperilaku sopan, rendah hati, mau mengampuni dan bicara kata-kata kasar karena kita tinggal dan hidup di Indonesia. Jangan merasa kekuasaannya tidak terbatas di gereja. Mereka cuman sebagai hamba Tuhan, bukan Tuan atau Tuhan kok? Seorang hamba harus menyadari bekerja untuk kemulianNya,” jelasnya.
Ditanya bagaimana sebenarnya hubungan pemerintah dalam hal ini kementerian agama dengan gereja, Oditha mengungkapkan bahwa selama ini ada pola kemitraan.
“Hubungan kami seperti muatualisme simboisis. Kami membuat regulasi dengan mempertimbangkan masukan dari gereja. Di samping itu kami juga memberi bantuan untuk gereja misalnya untuk merehab gedung, honor penyuluh, honor guru sekolah minggu, kegiatan lansia dan remaja. Setiap gereja berhak mengajukan tentu ke pembimas dan kabid di daerah,” bebernya. Oditha juga mengakui bahwa lembaganya juga membantu lembaga aras. “Meski tidak banyak ya kita tetap membantu tentu dengan dengan permintaan aras itu sendiri,” tutupnya.