Pdt Sukodono Patriotisme dan Spritualisme Rasul Jawa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung

Ayo Bagikan:

Pati majalahgaharu.com Kyai Ibrahim Tunggul Wulung adalah sosok pekabar Injil pribumi ditanah Jawa sekaligus pejuang pembela harga diri ibu pertiwi. Namun stigma negatif telah dilekatkan padanya: Pertama, Ia distigma sebagai sosok yang tidak tahan menderita sehingga memilih menjadi antek Belanda. Kedua, Ia distigma sebagai tokoh sinkretis dalam menjalankan ajaran Kristen. Namun ternyata stigma tersebut didasarkan asumsi tanpa bukti sahih. Penelusuran panjang terkait asal usul Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan kiprah patriotik mengusir Belanda dari tanah Jawa dalam perang Diponegoro/ perang Jawa/ Java Oorlogh serta karya monumental yang bertahan hingga masa kini bukan hanya mengkonfirmasi bahwa stigma negatif itu keji namun dengan penelusuran tergali nilai-nilai luhur yang layak menjadi panutan anak negeri dari generasi ke generasi.

Terbukti melalui penelusuran terkait asal-usul Kyai Ibrahim Tunggul Wulung bahwa ia berasal dari kerabat pura Mangkunegaran Surakarta yang lahir sekitar tahun 1800 dengan nama kecil Raden Tondo, nama saat dewasa adalah Padmodirjo. Selanjutnya ia menjadi Demang atau Wedana di Kadipaten Kediri. Terbukti pula bahwa beliau memiliki jiwa patriot yang kuat bagi ibu pertiwi. Sebelum pecah perang Jawa, ia ikut terlibat dalam sumpah atirata di Punthuk Gagatan (Gagatan, Wonosegoro, Boyolali) yang diinisiasi oleh Raden Tumenggung Prawiro Digdoyo sebagai Bupati Gagatan dan Pangeran Diponegoro. Dalam perang Jawa tersebut ia berpangkat Dullah yakni pemimpin tidak kurang dari 450 prajurit. Saat perang berakhir dengan ditangkapnya pangeran Diponegoro, mereka bersembunyi dan berbaur dengan rakyat di Ngalapan Juwana dan sekitarnya.

Mereka bukanlah para pengkhianat ataupun pencundang yang lari dari medan laga atau bertekuk lutut kepada Belanda. Namun mereka bersembunyi dalam rangka wait and see dengan tetap menjaga komunikasi dan berkonsolidasi. Karena itulah sebagai penanda atau sandi ditanamlah tumbuhan sawo kecik disetiap pekarangan.  Sawo Kecik merupakan sandi yang memiliki dua pengertian: dapat berarti sarwo becik/ selalu dalam kebaikan dan dapat juga berarti sawu sufu fakum/ luruskan barisanmu.

Hal sandi sawo kecik terkonfirmasi juga dalam cerita para Kyai Kristen mula-mula di Jawa Timur. Sandi Sawo Kecik yang juga ditanam di desa Banyutowo sejak 1861 terbukti menjadi simpul sosial saat prahara 1942 yakni pembakaran gereja dari Tayu hingga Donorojo Jepara. Dengan demikian gereja Banyutowo satu-satunya gereja yang lolos dari pembakaran. Penelusuran silsilah dan asal-usul leluhur Banyutowo yang ternyata terlibat dalam perang Jawa dan mereka berasal dari Blingi Juwana yang sangat berdekatan dengan Ngalapan semakin mengkonfirmasi keterlibatan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dalam perang Jawa.

Demikian pula cerita tutur dari generasi ke empat di Blingi dan Ngalapan menyatakan bahwa leluhur mereka mbah Leman Koyo di Blingi dan Seh Suleman di Ngalapan adalah prajurit pilih tanding dalam perang Diponegoro. Bahkan ada cerita bahwa antara Juwana hingga berbatasan dengan Rembang merupakan daerah pelarian para prajurit Pangeran Diponegoro.

Pdt Sukodono Gembala Jemaat GITJ Banyutowo Pati, Jawa Tengah

Dua puluh tahun paska perang Diponegoro, spiritualitas Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengalami titik balik setelah melalui pengembaraan dan bertapa di Gunung Kelud, Kediri. Setelah pendadaran oleh Kyai Coolen di Ngoro dan oleh Kyai Abisai Ditotruno (sejawat dalam perang Jawa), Kyai Paulus Tosari, dan Pendeta Jellesma di Mojowarno, Jombang maka ia menjelajah berbagai tempat di pulau Jawa, berjuang dalam jalur spiritual dengan memberitakan Injil secara mandiri. Sama sekali tidak mau terikat oleh para pekabar Injil dari barat. Bahkan salah satu putranya menjadi tokoh penting dalam pengembangan desa-desa Kristen di Jawa Timur (dapat dibaca dalam buku yang akan terbit: Catatan Telusur Kyai Ibrahim Tunggul Wulung).

Perjuangan melalui jalur spiritual Kristen sesungguhnya tidak menyurutkan kecintaannya terhadap ibu pertiwi. Karena itu disekitar Gunung Muria ia menghimpun para pengikutnya dengan cara membabad hutan untuk dijadikan desa perdikan, yakni desa yang bebas dari pajak dan kerja paksa. Desa tersebut yakni Ujung Jati (sekarang sebagian besar menjadi lahan PLTU Tanjung Jati Jepara), Bondo Jepara dan Banyutowo Pati. Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam peribadatan sudah tentu memegang teguh budaya Jawa antara lain: mereka tetap memakai bahasa Jawa, busana Jawa, tembang Jawa, wayang, gending, kenduri, tatacara menyambut dan paska kelahiran, tatacara pernikahan, tatacara pendampingan dalam kematian, tatacara membangun rumah, tatacara pertanian, dll sarat dengan simbol-simbol Jawa yang penuh makna.

Kyai Ibrahim Tunggul Wulung sangat percaya diri dan bangga terhadap identitas kebangsaan dan budayanya tanpa sekalipun merendahkan bangsa manca. Namun demikian Kyai Ibrahim Tunggul Wulung juga mengakui pentingnya pendidikan modern ala Eropa. Karena itu keturunan dan para murid didorong untuk menempuh pendidikan. Bahkan Pasrah Karso, cucunya perintis gereja Kedung Penjalin Jepara dititipkan secara khusus kepada Pieter Janzs. Sehingga terbukti generasi keturunan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung dan para murid dikemudian hari mampu berkontribusi di berbagai lini bagi ibu pertiwi. Sebagai contoh: paska Kemerdekaan Republik Indonesia generasi muda ikut memanggul senjata dalam perang mempertahankan kemerdekaan

Dalam membangun spiritual warga, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung sangat menekankan peribadatan pada hari Minggu. Bahkan hari Minggu disebut sebagai hari Sabat, hari khusus untuk beribadah bersama. Keyakinannya berpusat pada pribadi Kristus Yesus. Hal tersebut tercermin dalam syair tembang: Dhuh Yesus Sang Ratuning gesang, Putranipun Allah ingkang sampun ngawon kenging pejah, sawer tuwan remuk sirah nalika jaman pinesthi. Tuwan ingkang anetepi janjine Allah kang setya mitulungi tiyang nistha, de saking swarga tumedhak kadamel kurbaning panrak. Dalam kehidupan sehari-hari warga dibekali dengan doa Bapa Allah Putra Allah Roh Suci Allah telu-telune tunggal sawiji, lemah sangar kayu angker upas racun padha tawa idi Gusti manggih slamet selami-laminipun. Amin

Terkait dengan pengkaderan, ia mengkhususkan para murid untuk diberi kesempatan lebih dekat dengannya; diajar, dilatih dan diutus. Para murid diutus dan didampingi sehingga tumbuh banyak jemaat Tuhan, diantaranya: Kyai Sadrah, Kleopas Matata, Jamin, Suwardi, Yosafat, Ibrahim Iman Sujono, Rustiman, Matias, Benyamin Joyotruno, Yesaya Saritruno, dll. Melalui pengutusan para murid maka tumbuh jemaat Tegalombo Pati, Karangjoso Purworejo dan beberapa jemaat yang disebut jemaat Anthing di Batavia dan sekitarnya yang menjadi cikal bakal Gereja Kristen Pasundan.

Pohon dikenal dari buahnya. Pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik. Buah karya pelayanan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung terbukti bertahan hingga masa kini. Terpujilah Tuhan Yesus Kristus yang berkenan memanggil dan memakai hambaNya, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung menjadi teladan bagi kita dalam semangat cinta tanah air dan membawa Kabar  Baik dimanapun dan kapanpun serta merawat umat kepunyaanNya. Beliau telah melakukan dengan ketulusan, ketekunan dan pengorbanan. Pantaslah generasi masa kini meneladannya. Kiranya PEWARNA memberikan warna yang indah bagi ibu pertiwi, tanah air tercinta Indonesia. JP/YM

Facebook Comments Box
Ayo Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

BFCI Gandeng PEWARNA Indo Berbagi Menjadi Berkat Bagi Semua

Sun May 1 , 2022
JAKARTA -MAJALAH GAHARU  Menjelang dipenghujung bulan Puasa bagi umat Muslim di Indonesia, masih banyak dilakukan berbagai kegiatan sosial berbagi kepada sesama. Saling berbagi sesama umat beragama terus dilakukan, terutama dalam bulan ini juga dirayakan acara paskah untuk umat Kristiani dan bulan Ramadan atau puasa untuk umat muslim. Kedua momen tersebut […]

You May Like