Jakarta, MajalahGAHARU.com – Pewarna (Persatuan Wartawan Nasrani) Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) dan Forum Senior GMKI menggelar acara bedah buku berjudul Hancur Bangun Rumah Ibadah, Jumat 8 Juli 2022 bertempat di Gedung YKI Jalan Matraman 10, Jakarta Timur. Acara yang diawali dengan ibadah tersebut pada sesi diskusi bedah buku menampilkan para pembedah antara lain Romo Benny Susetyo (Anggota Dewan Penasihat BPIP), Pdt. Dr. Ronny Mandang (Ketua Umum PGLLI), Pdt. Henrek Lokra (PGI) dan Tumpak H Simanjuntak (Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri).
Tampil pertama Romo Benny Susetyo menngatakan melalui repleksi buku ini maka kita melihat bahwa proses kebangsaan kita belum selesai. Persoalan yang perlu diselesaikan intinya kita harus bangun gereja yang peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dengan membangun nilai-nilai cinta kasih dan gereja sebagai terang. Gereja bukan bicara fisiknya tapi bicara diri kita sendiri. Jika selama ini masih ada perusakan gereja yang salah kan pejabat daerah seperti bupati dan walikota yang tidak menegakkan UU dan UUD 1945.
“Tantangannya adalah nilai gereja yang membawa kabar gembira untuk orang lain. Buku ini membangun kasadaran kristiani untuk mengaktulisasi Pancasila. Ini sudah lama ditumbuhkan dalam masyarakat kita. Misalnya di Ambon dengan adanya Pela Gandong. Sayangnya lokal wisdom ini hancur karena kerusuhan Ambon. Yang salah itu adanya framing dominasi mayoritas ke minoritas. Jangan seolah kita umat tertindas, saat ini kita harus terus membangun peradaban cinta kasih dan memegang teguh Pancasila,” ujar rohaniawan Katolik ini.
Menurutnya, BPIP telah membuat satu gerakan membumikan Pancasila. Selama ini bangsa ini vakum sejak runtuhnya Orde Baru, yang kerap muncul kan ideologi radikalisme. Ketika Inggris dan Amerika sudah bicara kualitas bukan agama lagi kita malah sebaliknya. Kita ini miskin gagasan, makanya kita butuh politik gagasan. Problem besar kita (Indonesia) adalah pembenahan karakter bangsa belum tuntas, maka Pancasila harus digunakan. Seperti telah dilakoni Romo Mangun membangun gereja diaspora yakni peduli. Yang dibangun dari komunitas daerah.
“Saya kira umat Kristen jangan dalam setiap negosiasi lantas dikit-dikit menyerah, kita perlu melakukan pendekatan komunikasi budaya. Kasus Sang Timur kurang apa Gus Dur tapi penolakan terus terjadi. Karena itu orang Kristen harus visioner. Caranya jangan frontal selalu kedepankan pendekatan persuasif. Menurut saya bijaklah dan kebijaksanaan takut akan Tuhan. Proses jadi bangsa itu butuh waktu, kita punya kepekaan perlu kesadaran kultural kalau ingin sejajar dengan bangsa lain,” paparnya.
Sementara Tumpak H. Simanjuntak membeberkan bahwa urusan pemerintahan dikalafikasikan seperti absolut dan konperen. Pertama urusan absulut yang terkait dengan pertahanan, moneter fiskal, agama dll tidak dibagi ke pemerintah daerah. Sementara berbeda urusan konperen. Paling tidak enam standar pelayanan dasar pemerintah. Agama ini non urusan degalatif. Karena itu harus mempertimbangkan kesamaan, makanya ada Kesbangpol, Catatan Cipil yang kita sebut local different.
“Yang susah penerapan di lapangan. UU menjamin kebebasan umat beragama bahkan dijamin dalam konstitusi dasar yakni UUD 1945. Faktanya masih terjadi disparitas regional, keberagaman dan lainnya. Makanya Tumpak Simanjuntak tak mugkin gubernur di Jateng sangat beda di London bisa dijabat orang Mesir,” tutur Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri ini, hadir mewakili Mendagri Tito Karnavian yang berhalangan karena kunjungan kerja ke Papua. Ia menambahkan bahwa cipta karsa masayarakat di Inggris itu udah beda, karena memang tidak urusan agama lagi. Memang kita harus suarakan karena ini tidak hanya kepentingan kristiani tetapi untuk semua agama, karena negara menjaminnya.
Diakuinya, dinamika kita bernegara ini seolah-olah tidak adil. Kita harus menyesuakan diri dengan kelompok intoleran tersebut. Bupati saja sekarang takut kepala desa karena kuatir jabatan dua periode. Masalah bangsa kita ini complecated. Menarik Buku ini membahas jaminan UU dan UUD. Indonesia ada 6 agama besar. Otokritik di buku ini bagus, ada kritik ke dalam gereja sendiri yang yang kurang dalam relasi lingkungan, gereja berdekatan, tidak bisa bergaul dengan masyarakat sekitar. Karena itu, kita harus bisa menyusaikan diri.
Menarik Pdt. Hendrik Lokra justru mengawali diskusi dengan mempertanyakan bagaimana konstruksi UU dengan Qanun, Aceh. Masalah yang kita hadapi di Aceh Singkil, Qanun seolah lebih berpengaruh dengan peraturan bersama menteri. Pertanyaan bagaimana konstruksi hukum bisa terjadi?
“Sayang Pak Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, SH, MH sudah pulang. Kita bisa tanya bagaimana peluang kalau aturan ini di Judicial Review di MK, bisa kita dorong lewat adik-adik GMKI atau GAMKI,” ungkapnya sembari masalah seperti terjadi juga di Sumbar.
Aturan PBM (Peraturan Bersama Menteri) ini persyaratan pembangunan sarana prasana ibadah. Tetapi tugas FKUB banyak ke pembinaan karena itu banyak kesalahan terjadi karean rekomendasi. Mungkin FKUB Jakarta masih sedikit bagus tetapi bagaimana di daerah-daerah selama ini rekomendasi tidak ada atau tidak dianggap.
“Sebagai orang Kristen, kita harus hidup yang menghidupkan. Itu panggilan Kristen. Kita harus bisa mengelola dengan baik. Dari banyak kasus di lapangan ditemukan tidak banyak komunikasi dengan masyarakar sekitar pembangunan rumah ibadha. Padahal komunikasi itu modal yang kita buat kita dan itu Pancasilais,” cetusnya.
Hendrik Lokra membeberkan fakta bahwa di Gujung Kidul ada 2015 ijin rumah diberikan dan Sleman sebanyak 2027 rumah ibadah dapat ijin. Yang melakukan dan memperjuangkan itu Ormas Aliansi Binneka Tunggal Ika. Kasus pembangun gereja di Bantul dengan komunikasi yang baik dikasih ijin demikian juga GKI Yasmin Bogor. Pertanyaannya apa kita sudah mengelola modal sosial kita yakni pendekatan komunikasi.
Tampil pembicara terakhir Pdt. Ronny Mandang menegaskan bahwa pemikaran yang pertama adalah pergumulan masyarakat Kristen di tengah masyarakat inteloren. Ia menyanggah pendapat Romo Benny bahwa dalam sejarah KKR bukan melahirkan radikalisme tetapi justru berdampak mendirikan banyak rumah ibadah dan sekolah Kristen.
“Kita sekarang masuk Era Revolusi Industri 4.0, metafisika atau gereja virtual. Suatu waktu ke depan bukan tidak mungkin gereja fisik sudah tidak diperlukan lagi, diganti persekutuan melalui virtual tetapi apa yang terjadi sekarang memang seperti dalam Buku ini,” tegasnya.
Ia membuka fakta kejadian pendeta Yeremia Tolikara dan Sulteng, dimana Aparat TNI/Polri yang melakukan penganiayaan selama tiga jam. Apakah ini persoalan politik, Ronny mengatakan tidak demikian.
“Saya dan Pdt Yusuf Roni pernah bangun rumah ibadah di Matraman dan Taman Alfa dan sudah disetujui warga sekitar tetapi justru warga luar yang mendemo menolak,” tukasnya lagi.
Membangun rumah ibadah di masyarakawt toleran tidak masalah, tapi membangun di masyarakat inteloran maka yang terjadi seperti dijelaskan dalam buku ini. Meski demikian, ia juga mengingatkan jangan gereja jadi predetor untuk gereja lain.
Tidak hanya itu Ronny mengkritik tajam moderasi agama yang digaungkan oleh Kementerian Agama. Menurutnya bagaimana mungkin selaras kampanye moderasi agama sementara logo Kemenag sendiri hanya simbol satu agama. “Saya pernah menantang para menteri agama, apa mau merubah logo Kemenag sehingga lembaga itu merasa dimiliki semua agama di Indonesia, faktanya sampai dipimpin Menag sekarang tidak ada.”
Rumah ibadah boleh dibangun dengan gaya arsitektur apa saja. Setiap gedung yang dibangun harus mendekati masyarakat sekitar. Persoalan bukan di rumah ibadah tapi masyarakat intoleren. Selama masih ada masyarakat intolerans maka gereja yang sudah punya ijin juga bisa ditolak dan dihancurkan.