Majalahgaharu.com Jakarta Persaudaraan Matahari menggelar konser mini dan diskusi panel dengan tema tujuan dan filosofi bernegara dalam lagu-lagu W.R. Supratman untuk merayakan hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 79 Tahun, Sabtu 17/8/24 di auditorium Jusuf Ronodipuro Stasiun Radio Republik Indonesia Jalan Merdeka Barat Jakarta Pusat.
Dalam konser mini tentang lagu-lagu W.R. Supratman dengan apik di bawakan anggota Persaudaraan Matahari, mereka membawakan penuh penghayatan, seperti saat menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, Dari Barat Ke Timur dan Pahlawan Merdeka dibawakan dalam musik keroncong nan sahdu.
Namun, sebelumnya Setyo Hajar Dewantoro ketua Persaudaraan Matahari yang sekaligus ketua umum Perkumpulan Pusaka Indonesia membuka dengan mengajak semua yang hadir untuk hening sejenak. Menurutnya hening ini sebetulnya cara leluhur kita bangsa Indonesia dalam menghayati dan meminta sang pencipta agar memberkati.
Menarik selain menyanyikan lagu-lagu karyanya tetapi dalam diskusi panel tersebut juga mengupas sosok dari W.R. Supratman sendiri. Hadir dua narasumber Profesor Yudhie Haryono Guru Besar Universitas Trilogi yang juga direktur Nusantara Center, Laksamana Untung Suropati penggiat gerakan kembali ke nusantara dan di pandu oleh Setyo Hajar Dewantaro yang sekaligus menjadi narasumber dalam diskusi panel siang menjelang sore itu.
Prof. Yudhie dalam pemaparannya mengatakan bahwa lagu sendiri ada lima fungsi antaranya lagu dipakai mencari uang contohnya lagu-lagu yang dibawakan oleh para penyanyi, lalu fungsi relegi, lagu sebagai sarana kesehatan, lagu sebagai sarana kesenangan tetapi lagu juga sarana perjuangan atau perlawanan.
W.R. Supratman inilah yang menciptakan lagu berfungsi sebagai perlawanan seperti dalam liriknya Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya ini bentuk perlawanan kemerdekaan dan itu maknanya sangat dalam terang Prof. Yudhie.
Saat ini kritik Prof,. Yudhie yang sedang berjuang mendirikan sebuah badan rempah nasional ini (BANREHI) orang hanya membangun fisik, dan jika orang lebih mengutamakan fisik bisa dikatakan anti intelektualisme, demikian pula sama artinya ketika orang tidak mencari inovasi bagaimana negara maju tetapi lebih cari uang.
Beda dengan W.R. Supratman seorang Jawa tulen sekalipun namanya memakai Rudolf, usianya masih muda tetapi sudah memiliki visi jauh ke depan untuk bangsanya, sekalipun saat lagu-lagunya termasuk lagu kebangsaan Indonesia Raya itu diciptakan sebelum kemerdekaan.
“W.R. Supratman mirip Jendral Sudirman dan presiden Soekarno dengan usianya yang masih muda tapi warisannya berdentum”, tegas Prof. Yudhie Haryono mantab.
Apa yang dimaksud dengan karyanya yang besar, karena baik W.R. Supratman idem dito Soekarno karena hampir semua orang dari Sabang sampai Merauke semua bisa menyanyikan dan mengenalnya.
Sementara Laksamana Untung Suropati yang menyikapi sosok W.R. Supratman senada dengan Prof Yudhie yang melihat tentang keyakinannya bahwa W.R. Supratman adalam sosok Jawa tulen dia tidak menikah seperti yang dipahami sebagai ciri sosok Jawa hampir seperti Budhis tidak melekat pada keduniawian.
Lebih lanjut Untung Suropati melihat bahwa W.R. Supratman sekalipun dididik dari keluarga tentara (KNIL) tetapi justru jiwa patriotiknya tumbuh. Usianya yang baru 23 tahun sudah memiliki bayangan visioner yang dituangkan dalam lirik lagunya.
Nama Wage nama lokal nama pasaran dan itu ada pada diri W.R. Supratman kalaupun ada nama Rudolf lebih menyiasiati agar bisa diterima di sekolah Belanda.
Di kesempatan itu, Untung juga menyampaikan agar tetap waspada untuk mengembalikan kejayaan nusantara yang sesungguhnya sebuah negara besar ini, memiliki budaya tinggi tetapi seakan-akan kini menjadi negara yang tertinggal.
Karena untuk merusak sebuah bangsa caranya mudah kaburkan sejarahnya, hancurkan artifak dan pakta pakta sejarahnya serta putuskan dengan leluhurnya.
Seperti W.R. Supratman ini adalah anak bangsa yang memiliki visi besar dan itu bisa di dengar melalui lirik lirik lagunya.
“Saya sangat spicles ketika mendengar setiap lirik lagu ciptaanya dengan kedalaman nilainya sehingga sangat menggetarkan jiwa”, tandas Laksamana Untung Suropati memaparkan.
Setyo Hajar Dewantoro melihat untuk memulihkan kondisi bangsa, memang harus ada yang memulai agar kembali menjadi bangsa berbahagia. Lewat Pusaka Indonesia yang dipimpinnya tandas Setyo mencoba berkarya lewat tataran aksi untuk membuktikan hormat kepada sang ibu Pertiwi.
Sepert gerakan mengembalikan sumber Alam yang ramah, gotong royong dan menumbuh kembangkan budaya. Artinya lanjut Setyo Dewantoro yang akrab di panggil GURU ini, kita memang masih jauh dari cita-cita. Namun Setyo mengajak setiap kita menjadi contoh dan teladan agar Indonesia Raya Jaya ini tercapai dan yakin dengan gerakan yang dilakukan suatu saat nanti akan ada momentumnya, pungkasnya.
Penulis Yusuf M