Majalahgaharu Jakarta Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Penyelesaian Tindak Pidana Melalui Undang – Undang Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia’. FGD dilaksanakan di Ruang Seminar Gedung AB, UKI Jakarta (20/08) dengan menghadirkan dua narasumber yakni akademisi FH UKI, Dr. Morus Maxine Sianipar S. H., M. H., dan Akademisi FH UI, Prof. Eva Achjani Zulfa S. H., M. H.
Mengawali FGD, Dekan FH UKI, Dr. Hendri Jayadi menjelaskan pentingnya pembentukan Undang – Undang Restorative Justice yang responsif terhadap kebutuhan hukum masyarakat di Indonesia. “Restorative Justice atau Keadilan Restorative adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,keluarga pelaku, keluarga korban, institusi, masyarakat adat setempat serta tokoh adat setempat untuk memusyawarahkan sebuah perkara,” jelas Doktor Hendri.
“Penyelesaian perkara tindak pindana berdasar keadilan restorative dilaksanakan pada tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian keadilan restorative memberi perbaikan kepada korban, serta wujud perdamaian sebagai bentuk tanggungjawab pelaku. Serta memberi semangat kepada korban bahwa kerugian yang dialami akan kembali diterima seperti semula. Penyelesaian perkara pidana dengan restorative justice merupakan bagian pembaharuan hukum pidana. Hal ini sejalan dengan KUHP yang baru yakni Nomor 1 Tahun 2023,” jelas Hendri.
Selain itu, Hendri berpendapat bahwa Restorative Justice akan sangat membantu penyelesaian masalah terutama bagi Indoneseia dengan berbagai macam suku bangsa, “Dengan penyelesaian hukum tentunya harus mengacu kepada kearifan lokal dan adat budaya setempat. Dalam pendekatan restorative justice atau penyelesaian perkara pidana tentu harus dikedepankan bingkai hukumnya secara adat budaya setempat,”pungkasnya.
Restorative justice itu sendiri di Indonesia menurut Hendri adalah sebuah alternatif penyelesaian hukum dan tidak semua tindak pidana bisa diselesaikan melalui restorative justice. Doktor Hendri Jayadi mengutarakan bahwa restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidana yang kerugian di bawah RP 2.500.000 dan yang memiliki ancaman pidana dibawah dua tahun.
“Penyelesaian dengan restorative justice dibuat dalam Undang-Undang sebagai lex specialis, dalam rangka overcrowded Lembaga Pemasyarakatan. Lex Spesialis artinya yang khusus mengenyampingkan yang umum. Melalui Restorative Justice, dapat membatasi perkara yang bertumpuk di Sistem Peradilan Pidana dan menghindari pidana penjara,”jelasnya
“Namun ada tantangannya secara sosiologis. Hukum Pidana diciptakan dengan sifat memaksa, agar orang jera tidak melakukan perbuatan pidana lagi. Ada kekhawatiran jika melakukan pidana bisa di restorative, memudahkan orang melakukan perbuatan pidana. Maka Undang Undang Restorative Justice harus diterapkan secara proporsional , bertangung jawab dan bijaksana. Undang Undang Restorative Justice harus jelas dan limitative perbuatan hukum apa dan mekanisme penyelesaian seperti apa,” tambah Hendri.
Evaluasi terhadap Penerapan Restorative Justice
Guru Besar FH UI, Prof. Eva Achjani Zulfa, mengakui harus adanya evaluasi terhadap penerapan restorative justice di kalangan aparat. Namu harus tercapai tujuan mulia Restorative Justice yaki tercapainya keadilan.
Eva Achjani Zulfa menjelaskan restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisih.
“Keadilan restorative adalah proses yang menyatukan semua pemangku kepentingan yang terkena dampak kerugian. Restorative Justice merupakan gerakan sosial masyarakat yang kecewa terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan korban untuk memperjuangkan hak. Maka keterlibatan masyarakat merupakan hal penting dalam penerapan restorative justice. Karena aturan banyak dikeluarkan penegak hukum jarang yang melibatkan peran masyarakat,” jelas Prof. Eva.
“Dalam konteks pemulihan korban di masyarakat, siapa yang menjamin perlindungan jika terjadi pengulangan. Maka tantangannya adalah penerapan restorative justice dalam sistem peradilan pidana melalui lembaga penegak hukum maupun oleh masyarakat, RT, RW, kelurahan, istitusi keagamaan dan sekolah. Jadi lembaga sosial kemasyarakatan perlu diberikan pemahaman akan pentingnya restorative justice. Dapat menjadi gerakan bersama dengan pemahaman yang baik di antara penegak hukum dan masyarakat,” ujar Eva Achjani Zulfa.
Akademisi FH UKI, Dr. Morus Maxine Sianipar menjelaskan Keadilan Restoratif adalah suatu pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana yang berorientasi pada proses partisipatif dan dialogis antara pelaku, korban, dan masyarakat. Menurutnya, selama ini restorative justice fokusnya pada pelaku sebagai efek jera. “Seharusnya restorative justice ini korban yang lebih diperhatikan. Untuk itu perlu diproses lebih lanjut menjadi UU yang RUU sudah ada di DPR.”
Peraralan Lex Specialis pada restorative justice akan mengatur mekanisme pelaksanaannya akan lebih komperhensif. Pelaksanaanya nantinya tanpa mengutamakan pembalasan, serta dapat dilaksanakan pada setiap tahap peradilan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Doktor Morus.
Lebih lanjut Doktor Morus Maxine Sianipar menjelaskan mengenai defisi korban yakni setiap orang yang secara langsung menjadi sasaran tindak pidana yang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. “Serta korban juga merupakan orang tua atau wali sah dari anak yang menjadi korban sepanjang orang tua atau wali tersebut bukan pelaku tindak pidana. Dan juga dapat disebut sebagai korban adalah anggota keluarga terdekat dari korban yang meninggal dunia atau tidak mampu sebagai akibat tindak pidana, sepanjang bukan pelaku tindak pidana,” jelas Doktor Morus.
Focus Group Discussion dihadiri oleh akademisi FH UKI, FH UI, FH Universitas Pancasila, FH Universitas Muhammadiyah, Program Doktor Hukum Universitas Borobudur, Guru Besar FH Universitas Djuanda, dan FH Universitas Pakuan Bogor. Serta dihadiri institusi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Kepolisian, Kejaksaan, dan Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI.