Jakarta, majalahgaharu.com : Ditengah gencarnya kehadiran tenaga asing dan ‘aseng’ yang menjadi jualan kubu oposisi, PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), Jumat (8/6) menggelar diskusi tentang gereja di tengah pergumulan pekerja dan korban perdagangan manusia dengan menghadirkan tiga narasumber yaitu Pdt Gomar Gultom (Sekretaris Umum PGI), Yuli Adiratna SH, M.Hum (Ka Subdit Perlindungan Tenaga Kerja Kemenaker) dan Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant Care), moderator oleh Jeirry Sumampouw.
Diskusi yang diselenggarakan di Grha Oikumene, Jl. Salemba Raya No. 10 tersebut dihadiri aktivis, pendeta dan pekerja sosial serta mitra-mitra yang serius dengan persoalan pekerja migran. Pdt. Gomar Gultom selaku pembicara pertama menegaskan bahwa tugas gereja adalah memberitakan sukacita dengan memraktekkannya dalam kehidupan. Gomar memaparkan makna ke-oikumene-an yang artinya menata rumah yang nyaman didiami oleh semuanya tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Walaupun pertumbuhan ekonomi regional dan global melambat, permintaan TKI di kawasan Asia Pasifik masih tinggi. Terutama di Asia seperti Malaysia, Hong Kong, Singapur, Taiwan, dan Brunei Darussalam.
Untuk menjawab berbagai persoalan tentang pergumulan pekerja migran dan human trafficking (perdagangan manusia) ini, Gomar menyebutkan sebagai gereja harus terlibat dalam kehidupan sosial. Tak ada pewartaan Injil tanpa terlibat dalam kegiatan sosial tersebut. Untuk itu, terangnya, gereja harus keluar untuk terlibat dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Gomar mengajak gereja berorientasi kepada kemanusiaan, termasuk peduli terhadap kasus perdagangan anak dan pekerja migran. Lebih lanjut Gomar mengatakan, PGI sangat memperhatikan adanya tindak kekerasan dan perdagangan manusia yang terjadi terhadap banyak buruh migran. “Ini terutama di NTT, sekalipun memang NTT bukan pengirim TKI yang paling besar. Namun kasus kekerasan dan perdagangan di NTT paling besar. Pangkal dari semua itu adalah rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan.
“Sementara Pemerintah kurang memperhatikan pekerja migran, sekalipun disadari mengenai perdagangan manusia itu sudah terjadi se-tua dengan usia bumi ini. Namun gereja harus terus mendorong bagaimana dunia ini menjadi lebih baik dan berupaya menebar cinta kasih, dengan demikian akan tercipta kesejahteraan bagi manusia,” jelas Gomar
Sedangkan Yuli Adiratna dari Kementerian Tenaga Kerja sangat memberikan apresiasi pada peran PGI terutama dalam mengembangkan kesalehan sosial, artinya kepedulian terhadap sesama. Menurut Yuli, bahwa semua agama termasuk agama yang diyakininya juga senantiasa memerhatikan dan melaksanakan kesalehan sosial tersebut. Bicara pekerja migran, Yuli memaparkan kondisi pekerja migran yang bekerja di Arab Saudi, Malaysia, Singapur, Hongkong dan Taipeh dengan memaparkan hasil survei publik, baik terhadap buruh yang legal maupun ilegal, tercatat sebanyak 64 persen TKI berstatus ilegal dan yang legal hanya 36 persen.
Untuk itu, terang Yuli, pemerintah berdasarkan UU No 18 tahun 2017 menyebutkan bahwa sebagai tenaga kerja, harus siap konpentensi, koneksi dan ketrampilan. Dalam rangka itulah pelatihan TKI menjadi tanggung jawab pemerintah, demikian pula dengan pengurusan dokumen dan sebagainya sudah dilakukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Sekalipun memang banyak yang masih memakai modus agar dapat bekerja ke luar negeri, misalnya ‘melalui’ umroh, kunjungan wisata dll. Namun Yuli merespon positif upaya yang sudah dilakukan PGI untuk kepeduliannya memerhatikan nasib TKI ini.
Wahyu Susilo dari MigrantCare lebih fokus pada bagaimana membangun sistem dan melalui proses penempatan yang benar. Adanya alasan biaya penempatan yang tinggi juga disinggung dan diusulkan untuk ditiadakan. Wahyu juga lebih menitikberatkan pada peran pemerintah untuk pro-aktif, termasuk menuntaskan UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.[YM]