Majalahgaharu-Jakarta Kurun waktu 75 tahun setelah Perang Dunia II berakhir, keadaan dunia internasional kini ditandai oleh munculnya agenda unik baru dalam hubungan internasional. Demikian kesimpulan Seminar Internasional bertajuk “The Meaning of 75 Years of the End of World War II to the International Relations” yang diadakan oleh the Center for Strategic Studies, Universidade Dili di Timor-Leste (13/12).
Penerima Nobel Perdamaian sekaligus mantan Presiden dan Perdana Menteri Timor-Leste Dr. Jose Ramos Horta yang menjadi pembicara pertama menyatakan, berbagai agenda baru tersebut bersifat lintas Negara, bahkan transnasional, sehingga semakin sulit bagi kita untuk membedakan apa yang disebut masalah nasional, dengan apa yang disebut masalah internasional. karena selalu terdapat konektivitas antara masalah internasional dan masalah domestik.
Misalnya, konflik Israel dan Paelstina. Dari dulu kita merasa bahwa konflik itu berada di tangan 4 (empat) pihak saja, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan Sekjen PBB. Namun, pada kenyataannya, kini muncul Turki dan Iran yang memiliki peran khas dalam masalah Gaza dan pengiriman Flotilla. Iran dan Turki kini menjadi dua actor baru yang harus diakomodir dalam tatanan baru kawasan Timur Tengah.
Di samping itu, kita juga mengetahui peranan dari non-state actor, seperti Hamas dan Hizbullah. Walaupun kita tidak mau menyejajarkan mereka sebagai suatu entitas sebuah Negara, tapi pada kenyataannya, mereka adalah bagian penting dari arsitektur regional di Timur Tengah.
“Semua agenda baru tersebut, baik itu pandemi Covid-19, krisis keuangan global, perubahan iklim, maupun agenda-agenda internasional lainnya, terjadi secara simultan,” ujar Partogi Samosir Ph.D yang menjadi pembicara kedua dalam Seminar Internasional tersebut.
“Semua terjadi secara bersamaan, sehingga menuntut kita semua untuk menangani berbagai agenda internasional tersebut dalam waktu yang bersamaan. Bahkan berbagai agenda tersebut saling berkaitan erat,” imbuh Partogi Samosir yang adalah Direktur Center for European Union Studies (CEUS).
Itu sebabnya, semua pemerintahan tertantang untuk dapat menangani seluruh agenda internasional tersebut dengan pendekatan yang komprehensif, yang melihat peluang di tengah-tengah tantangan, dan selalu mewaspadai keterkaitan dari semua masalah tersebut.
Dalam konteks seperti itu, lanjut Ramos Horta, kita self-absorbed jika kita hanya berkata, it is my national interest, lalu kita paksakan untuk kita capai sendiri. Semua agenda internasional tersebut tidak dapat ditangani secara nasional, tetapi harus ditangani secara global, bersama-sama Negara-negara lain.
Dalam berdiplomasi dan bernegosiasi, Partogi Samosir selalu meramu kepentingan nasional Indonesia sehingga dirasakan sebagai kepentingan bersama bagi mayoritas Negara sahabat.
Menurut Partogi, “Berbarengan dengan saya mengidentifikasi dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia, saya sekaligus mengidentifikasikan kepentingan nasional Negara-negara lain, sehingga terciptalah sinergi kepentingan bersama.”
“Sangat mudah untuk sekedar bersuara keras. Demikian juga jika kita hanya ingin menggunakan pendekatan bambu runcing, sangat mudah. Tetapi yang dibutuhkan adalah kemampuan kita untuk menemukan titik temu antara kepentingan nasional Indonesia dan kepentingan nasional Negara-negara lain,” tutur Partogi Samosir di hadapan ratusan peserta seminar internasional.
Pada dasarnya, diplomasi adalah memberi dan menerima. You make some adjustments here and there for bigger gain. Jadi selalu ada cost benefit. Kemenangan atau keuntungan sesaat tidak dapat mengalahkan kepentingan yang lebih besar dan hubungan angka panjang. Less can be more, demikian Ramos Horta menanggapi pendapat Partogi Samosir tersebut.