Jakarta-Majalahgaharu-Kemenangan Taliban merebut kekuasaan atas Afganistan menimbulkan kekuatiran tersendiri, terutama bagaimana dengan dampaknya di Indonesia, Romo Benny Susetyo Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ketika bicara kontek kemenangan Taliban di Afganistan, Rm Benny tegas ketika melihat apa yang terjadi di Afganistan ini bukan semata-mata agama, namun lebih pada adanya konflik suku dan keepntingan global ketika mengawali tanggapannya seputar tema dampak kemenangan Taliban terhadap Indonesia dalam webinar yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Jumat 20/8/21 yang lalu.
Dalam hal konflik suku ini harus hati-hati memahami lanjut Rm Benny, sedangkan pengaruh kemenangan Taliban terhadap Indonesia, pasti ada tetapi itu sangat kecil. Negara Indonesia sudah usia 76 tahun merdeka, sudah memiliki DNA nya yakni kemajemukan dan keberagaman. Demikian pula nasionalisme yang ditunjukan Soekarno Hatta itu jiwa raga kita cukup kuat.
Persoalannya sekarang bagaimana menata media sosial ini agar tidak diadu domba terutama pemahaman tentang Afganistan. Benny lebih melihat fenomena media sosial yang memiliki pengaruh besar, namun demikian kita tidak perlu reaktif menanggapi tentang kondisi Afganistan tersebut ujarnya.
Kenapa, kalau kita menanggapi berlebihan, justru akan terjebak akan sikap reaktif. Lalu tak kalah pentingnya harus memperkuat lintas iman, jadi kalau dikaitkan dengan ideology Pancasila itu selalu ada hubungannnya dengan bagaimana bertindak berpikiri dan berelasi ke sesama anak bangsa.
Meliat realitas tentang Pancasila, 90 persen masyarakat Indonesia masih meyakini Pancasila sebagai alat pemersatu. yang perlu dikuatirkan adalah menggoreng issue Afganistan ini dalam isuse yang sempit dengan membenturkan seolah-olah masalah agama.
Karena menurutnya masalah Afganistan ini masalah kekuasaan bukan masalah agama, apalagi dengan sikap NU yang berkomunikasi kepada mereka dan NU sudah memiliki jaringan yang kuat dengan kelompok Taliban.
Memang perlu kehati-hatian dalam pengakuan Indonesia terhadap Taliban, karena masih ada reaksi penolakan yang kuat dari masing-masing kelompok di Taliban atau suku.
Jika masing-masing suku di Afganistan ini belum ada perdamian memang akan sangat sulit kalau Afganistan akan menjadi negara damai dan merdeka. Karena bicara Afganistan yang dikuasai Taliban, sesungguhnya kemenangan Taliban tersebut ada kekuatan besar dari Cina, Uni Soviet dan Amerika. Kenapa akhirnya Afganistan mudah dikuasai Taliban, karena memang Amerika tidak punya kepentingan makanya ditinggalkan negara tersebut.
Justru Cina yang saat ini berkepentingan dengan jalinan perdagangan dan investasi. “Kita mengenal karakter Cina dengan ekonomi menjadi kekuatan mereka”, terang Benny yang juga mengajak masyarakat melihat kepentingan-kepentingan global dan tidak melihat secara sempit.
“Jangan melihat kasus Afganistan ini dalam kesempitan lalu reaktif, tetapi juga melihat bahwa ada kepentingan-kepentingan negara super power dalam kepentingan Afganistan”, terangnya.
Dikaitkan dengan kepentingan atau sikap Indonesia ya harus kembali kepada politik bebas aktif toleran keberagaman dan kemajemukan, selain itu Indonesia harus mampu mengisi ruang-ruang publik itu dengan issue-issue keragaman kemajemukan dan pemantapan ideology bangsa, sehingga kita melihat 76 tahun tetap kokoh.
Terakhir peranan besar nantinya bahwa dekaradikalisasi itu menjadi penting, sehingga paham-paham itu tidak masuk di generasi baru ini. Tak kalah penting peranan di komunitas media meluruskan hal-hal sebenarnya tidak terjadi, sehingga peristiwa-peristiwa dahulu jangan di ulang seperti pembunuhan misionaris dan sebagainya.
Media berfungsi mengcounter ini penting untuk media ke depan, sehingga gambaran di Afganistan itu seolah-olah ada konflik mengenai agama, yang sifatnya mengekploitasi tentang berita-bertita pembunuhan komunitas misionaris, komunitas Budha padahal itu berita-berita yang dulu.
Sekarang jangan dipostingkan media harusnya memberikan daya literasi dan pemutus kata atau hal hal yang sebetulnya tak terjadi, dan tidak terburu buru merespon tentang apa yang terjadi di Afganistan.
“Jangan buru-buru menyikapi dengan kemenangan Taliban ini sebab disana juga masih terjadi konflik”, terang romo yang akrab dengan media ini. Sedangkan ketika bicara peran Indonesia tentu harus mendorong adanya pembangunan perdamaian tersebut. Sehingga Indonesia mampu memberi jalan tengah untuk perdamaian itu.
Mengenai adanya keraguan sebagian masyarakat tentang implementasi Pancasila sehingga masih terjadi perdebatan dengan perpindahan agama dan konflik-konflik tertentu, Benny melihat memang masih terjadi konflik-koflik dan prasangka-prasangka minor, namun jangan juga digeneralisasi, seolah-olah besar sekali, padahal kalau dilihat 80 persen masyarakat itu kan hidup rukun damai.
Misalnya ada sebuah Pesantren Walisomgo misalnya mengajarpun ada juga Romo para suster sebaliknya juga di seminari artinya tidak ada masalah. Di NTT Muhamadiyah dan Papua tidak ada masalah. Jangan juga konflik kecil itu dibesar-besarkan karena sebenarnya masih banyak yang hidup berdampingan.
Memang yang dibutuhkan sekarang konsolidasi demokrasi khususnya pasca kasus Ahok, namun setelah Ahok politik identitas tak begitu lagi. Tantangan nya sekarang bagaimana terus merawat keberagaman dan kemajemukan perlu bijak dalam media sosial, jangan isinya memprovokasi, sekarang harus mengisi media sosial sebagai alat atau sarana merajut keberagaman dan kesatuan bangsa bukan penghancuran persatuan bangsa.
Seperti Soekarno ikatan kita yang bhineka Tunggal Ika itu dna-nya. Makanya kasus-kasus SARA di Indonesia tidak begitu kuat, karena ada kekuatan kebersamaan di dalamnya dan ini yang harus di rawat dan dijaga terus menerus, tandasnya.