Jakarta- Dalam rangka memperingati Dies Natalis Prodi Magister Administrasi Pendidikan ke-27 tahun dan Hari AIDS Sedunia, Magister Administrasi Pendidikan Universitas Kristen Indonesia (UKI) menyelenggarakan Webinar Nasional 2022 dengan tema: “Sexual Harassment and Mental Health, Take Care of Yourself, SPEAK UP NOW!” dengan menampilkan narasumber Bahrul Fuad (Komisioner KOMNAS Perempuan) dan Setyani Alfinuha,M. Psi (Psikolog dan Dosen) Kamis, 1/12/2022.
Dalam paparan awalnya, Bahrul Fuad menjelaskan bahwa terkait kekerasan terhadap perempuan dan juga penderita HIV dan AIDS, maka negara hadir merespon terhadap kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan melalui lembaga Komnas Perempuan.
“Kehadiran Komnas Perempuan merupakan respon terhadap tuntutan masyarakat pada negara atas kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998. Untuk menangani banyak korban lalu diusulkan ke Presiden Habibie untuk membentuk sebuah lembaga. Salah satu dasar hukumnya UU No. 7 Tahun 1984, tentang Ratifikasi Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,” ujar Komisioner Komnas Perempuan ini.
“Kami senang jika UKI mau bekerja sama melakukan kegiatan misalnya kampanye mencegah kekerasan perempuan di dunia pendidikan. Komnas Perempuan memang tidak punya hak dan wewenang untuk melakukan pendampingan langsung, namun lembaga ini menerima laporan kekerasan seksual dan kemudian merujuk ke lembaga lain,” paparnya.
Adapun kasus kekerasan perempuan yang paling tinggi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ini terjadi umumnya terpengaruh budaya partial. Anggapan lelaki lebih unggul dari perempuan, biasanya terjadi relasi kuasa.
“Dari pengaduan yang kami terima, paling tinggi adalah kekerasan fisik dan seksual. Data tahun 2022 Kasus Berbasis Gender Cyber (KBGC) rata-rata seharinya terjadi 720 kasus. Artinya ada 32 korban dalam setiap jam,” bebernya.
Kekerasan Seksual pada perempuan merupakan kejahatan kemanusian yang paling utama, dengan merampas HAM. Pada Mei 2022 diterbitkan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Kekerasan seksual termasuk pelecahan seksual, dampaknya bisa kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik dampaknya lebih mudah diobati. Namun secara psikis bisa menimbulkan trauma berkepanjangan. Faktanya kekerasan kepada perempuan malah sering berulang,” urainya.
Adapun relasi kuasa, seperti kekerasan kepada istri oleh suami, ayah ke anak dan sebagainya. Yang memprihatinkan cara pandang ke korban kekerasan seksual cenderung dipandang negatif. Biasanya korban yang disalahkan. Misalnya alasan gara-gara pakaian, atau jalan malam. Jadi korban yang disalahkan bukan pelakunya. Sebenarnya tidak ada kaitan pakaian dengan kekerasan seksual.
“Dampak kekerasan seksual biasanya depresi, kecemasan dan ketakutan. Biasanya memilih mengasingkan sampai ada bunuh diri. Oleh karena itu, tugas kita adalah menjadi teman, jangan dinasehati cukup didengar saja. Sama dengan perempuan yang terpapar HIV AIDS, biasa mengalami stigma negatif yang kuat,” ujarnya.
“Korban kekerasan seksual memang tidak mudah bicara (speak up), karena hubungan relasi kuasa tadi. Ada kekhawatiran korban melapor akan malah dikriminalisasi. Ada kasus korban atau penyintas justru diperkarakan jadi dipenjara. Tetapi kalau mereka speak up harus kita dukung,” tutur Bahrul Fuad.
“UU TPKS yang baru sudah memberi ruang, bahwa pengakuan korban kekerasan seksual sudah cukup alat bukti permulaan. Misalnya kalau tidak tahu pelaku, cukup mengadu ke kami, nanti kami tinggal minta kronologis dan kami akan berkoordinasi. Komnas Perempuan bisa menerbitkan rekomendasi ke kepolisian untuk segara ditangani,” tegasnya.
Yang terpenting diketahui bahwa kasus kekerasan seksual tidak termasuk delik aduan tapi delik umum. Jadi tidak ada penghentian perkara. Menanggapi hukum kebiri, Komnas Perempuan memandang bahwa hukuman kebiri tidak akan menyelesaikan atau menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara narasumber kedua, Setyani Alfinuha,M. Psi langsung melibatkan peserta webinar melalui servey. Ia mengajukan beberapa pertanyaan yang langsung dijawab peserta webinar. Ia mendefinisikan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan atau menyerang tubuh, atau fungsi reproduksi seseorang yang tanpa persetujuan atau terjadi pemaksaan.
“Pelaku kekerasan seksual sama sekali tidak ada keterkaitan latar pendidikan. Kebanyakan yang terjadi karena relasi kuasa. Tidak ada batasan usia dan kebanyakan dilakukan orang dikenal dan bisa ada hubungan darah,” ujar Psikolog ini.
Dosen LB UMG ini menambahkan bahwa dampak kekerasan seksual bisa fisik dan psikis. Dampak fisik contohnya luka ringan. Sedangkan psikis dampaknya depresi, ketakutan dan trauma.
Apa yang kita lakukan jika menemui korban kekerasan seksual? Setyani menganjurkan pertama adalah melakukan pertolongan. Biasanya ada dua tindakan yaitu preventif dan kuratif. Preventif misalnya kejadian belum ada. Sedangkan kuratif sudah terjadi korban. Penanganan keduanya akan berbeda.
“Biasanya langkah preventif, membuat diri kita lebih berdaya. Misalnya menambah pengetahuan tentang pelecehan seksual. Melakukan edukasi pada anak sejak dini tentang seksualitas. Urusan seksual tidak hal yang tabu diedukasi. Orang tua perlu menjelaskan pada anak bagian tubuh mana boleh disentuh orang lain. Yang kedua, orang tua harus menghargai hak anak akan tubuhnya,” ujarnya mengingatkan.
Lalu kalau sudah terjadi kekerasan seksual? Pertolongan pertama secara psikologi, membuat korban aman, mengurangi dampak kekerasan, menghindari trauma. Prinsipnya sederhana lihat, dengarkan dan hubungkan. Maka, penting menciptakan support system bagi penyintas yakni menjaga kerahasian data diri korban, menumbuhkan rasa empati, melakukan active listening, dan tidak menghakimi.
Diskusi Webinar ini sangat menarik, berlangsung dari sore hingga jelang malam dipandu Anita Jojor. Diselenggarakan dalam rangka memperingati hari AIDS sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember 2022. Diikuti sekitar 219 peserta, selain dari lingkungan UKI juga diikuti peserta dari Kupang, Medan, Toraja, Papua dan daerah lainnya. Berasal dari kalangan segala umur, yakni SMP hingga Perguruan Tinggi dan mereka aktif bertanya.
Dalam sambutannya, Wakil Direktur Pascasarjana UKI, Desi Sianipar, M.Th., D.Th, menyampaikan melalui Webinar ini diharapkan bisa menambah wawasan dan pengetahuan dengan kehadiran para narasumber. “Dalam usia 27 tahun Pascasarjana UKI harus memperkuat peran dan fungsi lembaga pendidikan untuk aktif menyuarakan keadilan dan aktif mengedukasi masyarakat korban seksual. Selamat Dies Natalis ke-27 Prodi Magister Administrasi Pendidikan Pascasarjana UKI tetap jaya dan sukses selalu,” harapnya.