Majalahgaharu.com Jakarta Pada 17 Maret 2024 seputar 16 orang “Gen S” (Generasi Spiritual to All) mengadakan diskusi bertema “Mengenal Ayat-ayat Diri, Buah Dari Jalan Hidup” di Jalan Juanda menghadirkan Romo Sriyanto Eko Galgendu – Pemimpin Spiritual Nusantara sebagai Inspirator terbentuknya “Gen S” dengan Bung Edo Sitanggang sebagai Koodinator.
“Doa dan syiar syair ayat- ayat BhuWaNa akan berkumandang. Menggegam jiwa dan hati yang mendambakan perubahan JaMan dan JaGad. Awal bermula kembali, menuju kemuliaan.”
Romo Sri Eko Galgendu yang mendambakan lahirnya “Generasi S: Spiritual To All”, generasi yang mengatasi generasi A, generasi B, generasi Z dst dan mengatasi problem persatuan bangsa dari problem SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). “Generasi S – Spiritual to All” – Spiritualitas untuk semua dari masa lalu, kini dan yang akan datang”.
Melalui Ayat-ayat Buana/ Bumi, Romo Sriyanto Eko Galgendu dengan pandangannya yang bervisi jauh kedepan dari peradaban Nusantara yang diambil dari zaman Atlantis (nabi Idris As), Pichecantropus Erectus, Homo Soloensis, sisa-sisa peradan nabi Nuh As di pulau Seram, peradaban nabi Sulaiman pada jejak-jejak Ratu Bilkis di Wonosobo (negeri Saba), diikuti oleh peradaban- peradaban besar dari Mataram Kuno, Kutai, Ratu Shima, Taruma Negara, Sriwijawa, hingga Padjadjaran, Galuh, Majapahit, Demak dst, membaca “Bahasa Bumi” di depan generasi muda komunitas “Gen S” di bawah Bung Edo Sitanggang.
“Kita ini bangsa tua, bangsa Nusantara, Nu dan Santara = Bangsa dalam tatanan matahari. Kalau telur diletakkan di berbagai tempat, maka di Indonesia lah akan paling cepat menetas. Dengan flora dan fauna terlengkap di dunia dengan iklim tropisnya,” kata Romo Galgendu.
Kita juga bangsa yang “dipilih Tuhan YME”. Realitas bangsa yang dianugerahi Tuhan, lebih dari bangsa-bangsa lain di dunia. Kita juga bangga, ada Perdana Menteri Malaysia juga Presiden Singapura keturunan bangsa Nusantara Indonesia. Tapi jika mengambil spirit nasional kebangsaan dari 1928 sampai sekarang, maka bangsa Indonesia tidak pernah berjaya. Kita harus mengambil dari “Usaha Bina Negara Lama” dari spirit Nusantara.
Kita ini “bangsa lama” yang Tak Kalah dengan bangsa-bangsa Cina, Eropa, Arab, India, Persia dst, yang dianugerahi Tuhan YME lebih dari bangsa-bangsa lain di dunia, bangsa besar, bangsa “Aria”. Di Tuban (Majapahit) bahkan dicetak manusia-manusia unggul untuk menjadi pemimpin-pemimpin di negeri seberang.
Tapi mengapa kita menjadi bangsa yang kalah, nista, tidak punya semangat harapan dalam menghadapi tantangan zaman?
“Panggilan Kepada Jalan Spiritual”
Romo Sri Eko Galgendu dikenal pemberani, cerdas dalam pemikiran dan dari keluarga pengusaha, tetapi panggilan spiritual telah menggerakkan pengalaman spiritual dari dalam diri sendiri, “Mengenal Ayat Diri, Buah Dari Jalan Hidup”. Dan setiap anak manusia punya “Satu Kalimat Ayat Diri”.
Satu kata yang disebut dan terkait dengan kata “Ayat” adalah yang punya kedudukan, dalam kerangka pemimpin “Agama (kitab suci), Raja (sabdanya) dan Hakim (pasal- pasalnya) dengan sebutan “Yang Mulia”.
“Ayat” juga bermakna A= huruf pertama yang utama, Ya= tatanan Keagungan & kebenaran Tuhan YME yang ada dalam diri, T= yang ayat tertulis dan sesuai perkembangan zaman. Jadi tidak boleh menafsirkan semau gue, bahkan mengadu domba dst, dengan “Ayat yang Ada pada Diri”.
Menjadi cahaya bagi generasi muda, situasi menjadi tenang, tidak membeda-bedakan setiap insan tapi justru menyatukan dalam semangat union persatuan – kesatuan. Pemimpin yang bisa menyejahterakan & membahagiakan rakyatnya. Saling menghargai sesama. Bersyukur penuh suka cita, bernilai dan bermanfaat. Dengan Ayat- ayat Buwana – Ayat-ayat Diri, tubuh kita dari tanah, menyatu dengan tanah, Bumi mencatat dan menulis yang dilakukan tanah tapi kita telah melupakan Bumi kita, tanah air kita dan diri kita sendiri yang berasal dari anasir tanah.
Bahasa Bumi ‘Buwana”
Akhirnya satu persatu peserta, mendapatkan Bahasa Bumi dari Romo Galgendu, yang lalu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
-Tanamkankah komitmen kepada diri dan terus pupuk kepercayaan diri.
-Bagimu sayang terhadap sesama adalah kembali mengasihi sesama.
-Diriku adalah dirimu, komitmenmu adalah komitmenku, karena itu berusaha memberikan yang terbaik pada sesama.
-Hidupku bagaikan mata air yang terus memberikan beningnya kehidupan. Yang menjadi sumber pendapat atau pengetahuan supaya bermanfaat untuk sesama.
-Semangatku adalah diriku, jiwaku adalah matahari yang selalu memberi semangat dan terangnya pada siapa pun. Cahaya Ilahi indah, matahari semangat untuk menjadi penerang kepada siapa pun. “Cahaya Ilahi, Cahaya Spiritual to All”.
-Dirimu bagaikan benteng nilai dan makna. Karyamu adalah cinta dan harga yang terus engkau bangun bagi sesamamu.
-Makna hidupmu adalah kesetiaan. Dirimu memiliki sesuatu keyakinan Allah, ada dalam hidupku. Tidak membeda-bedakan Suku Bangsa, Agama, Ras dan Antar Golongan.
-Pribadimu adalah keyakinan akan suatu perjuangan. Pengorbanan dalam dirimu adalah semangat menuju sukses. Harus melawan terhadap narasi “Perjuangan itu sesuatu yang bodoh!”.
-Rangkaian dirimu bagaikan merajut bambu dengan bambu yang lain. Memahami suatu isi kehidupan, menyatu dengan sahabat- sahabatnya, adalah keberhasilan dari kebersamaan (selamanya).
-Dirimu bagaikan jembatan yang selalu menghubungkan satu dengan yang lain. Rela tidak diberi penghargaan tapi terus merajut cinta kasih.
-Semangatmu bagaikan nuansa dari rasa cita yang ada dalam diri. Jangan redupkan cita- citamu. Jadikan citamu menjadi karya yang abadi.
-Nadimu bagaikan rasa jiwa yang terus kemudian bersyukur dan ikhlas. Keikhlasan tetap menjadi persemaian dari hidupmu.
-Hidup bagaikan warna-warni, bagaikan diryang memberi warna. Warna apa yang lebih mendominasi dirimu?
-Siapakah diriku? Apakah kita semua akan tahu. Apakah janjiku. Apakah semua yang disampaikan Allah, untuk menyampaikan rasa kasih sayang dan cinta kepada orang yang melahirkanmu, masyarakat, bangsa, negara.
-Manakala diriku gundah, tak tahu apa yang jadi pegangan, siapa yang kuambil menasehatiku. Cinta dan kasih sayang hanya suatu ungkapan diri, dimana hidupku penuh dengan warna kebahagiaan. Dst.
Sesudah itu, dilakukan tanya jawab antara Romo Galgendu dengan para peserta diskusi, yang membuat suasana semakin hangat.
Penulis: Gus Badawi
Kerabat Pimpinan Spiritual Nusantara