Oleh : H.Shahz Diman,SH.,MH.,M.Ag

Majalahgaharu Jakarta HUT ke-80 Kemerdekaan RI hendaknya menjadi momentum refleksi segenap anak bangsa ini atas konsesus kebangsaan kita sebagaimana tertuang dalam Mukadimah UUD’45.
Bahwa Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 menempati posisi yang unik dalam tata hukum nasional: ia bukan hanya pembuka teks normatif, melainkan sumber legitimasi simbolik dan pemandu nilai yang menjiwai keseluruhan konstitusi. Memahami mukadimah sebagai “ruh” cita-cita bernegara berarti menempatkan hak asasi manusia (HAM) bukan sekadar sebagai daftar hak legalistik yang berdiri sendiri, melainkan sebagai prinsip pengarah yang harus mempengaruhi pembentukan norma, praktik birokratik, dan tindakan negara secara keseluruhan.
Pendekatan ini menuntut perubahan paradigma dari melihat hukum sebagai kumpulan aturan teknis menuju melihat hukum sebagai instrumen yang harus merealisasikan martabat manusia, keadilan sosial, dan kesejahteraan spiritual serta material warga negara.
Secara konseptual, posisi mukadimah sebagai ruh mempunyai dua implikasi utama.
Pertama, ia menegaskan bahwa legitimasi kenegaraan modern berakar pada pengakuan martabat individual: negara memperoleh hak untuk bertindak hanya sejauh tindakan tersebut dapat dibenarkan sebagai upaya perlindungan atau pemenuhan hak-hak dasar warga.
Kedua, mukadimah mengarahkan agar tujuan kolektif negara ketertiban, kesejahteraan, persatuan selalu ditimbang terhadap kewajiban negara untuk melindungi dan menghormati hak asasi. Dalam konteks ini, HAM menjadi tolok ukur normatif bagi setiap kebijakan publik dan produk hukum: kebijakan yang mengabaikan atau mereduksi hak dasar tidak dapat dibenarkan semata atas nama tujuan kolektif tanpa analisis yang jelas mengenai proporsionalitas dan perlindungan kompensatoris.
Dari perspektif sejarah dan teori konstitusional, mukadimah UUD 1945 mengandung nilai-nilai dasar yang berdekatan dengan konsep HAM modern. Meskipun teks mukadimah bersifat ringkas dan normatif, nilai-nilai yang terkandung kemerdekaan, kesejahteraan, keadilan sosial, penghormatan terhadap hak-hak asasi memberi dasar moral bagi penafsiran konstitusi yang pro-HAM.
Oleh karena itu, hakim konstitusi, pembuat undang-undang, dan pembuat kebijakan seyogianya menggunakan mukadimah sebagai kerangka interpretatif ketika menghadapi persoalan yang berimplikasi pada hak asasi. Pendekatan hermeneutik semacam ini mendorong konsistensi nilai di antara berbagai tingkatan norma: dari mukadimah ke batang tubuh konstitusi, dari undang-undang ke peraturan pelaksana, sehingga produk hukum bukan hanya koheren secara logis tetapi juga konsisten secara nilai.
Implikasi praktis dari menempatkan HAM sebagai ruh mukadimah dapat dipilah ke dalam tiga ranah: desain hukum (legislasi), tafsir yudisial (adjudikasi), dan praktik administratif (implementasi). Pada ranah legislatif, pembentukan undang-undang harus diawali oleh uji konformitas terhadap prinsip-prinsip mukadimah: sebelum substansi normatif disusun, perlu dipastikan apakah tujuan dan mekanisme yang diusulkan akan menghormati martabat manusia dan keadilan sosial.
Uji ini melebihi sekadar uji konstitusional formal; ia menuntut analisis dampak hak (rights impact assessment) yang sistematik, termasuk konsekuensi bagi kelompok rentan dan mekanisme remediatif bila hak- hak tertentu dipersempit demi tujuan lain.
Pada ranah yudisial, mukadimah memberi landasan interpretatif bagi hakim ketika menemui kekosongan norma atau konflik norma. Putusan yang sensitif terhadap mukadimah cenderung mengedepankan perlindungan HAM sebagai bagian dari tujuan konstitusional. Ini mengharuskan hakim untuk mengembangkan metodologi penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai mukadimah menjadi parameter dalam menilai sah-tidaknya tindakan negara—misalnya dengan menerapkan prinsip proporsionalitas, non-diskriminasi, dan perlindungan minimum bagi hak fundamental.
Di tingkat administratif, aparatur negara perlu menerjemahkan nilai- nilai mukadimah ke dalam prosedur operasional—misalnya standar pelayanan publik yang menjamin akses setara bagi semua warga, mekanisme pengaduan yang responsif, serta pedoman pelatihan aparatur yang menekankan penghormatan HAM. Tanpa translasi ke ranah implementasi, norma yang luhur akan tetap menjadi teks hampa: implikasi hak tidak akan terealisasi jika birokrasi tidak diorganisasi untuk menghormati dan melindungi hak setiap individu.
Namun demikian, penempatan HAM sebagai ruh mukadimah menghadapi beberapa tantangan substantif. Pertama, sifat mukadimah yang abstrak menuntut kerja normatif yang cukup untuk menjadikannya dapat dioperasionalkan. Abstraksi ini memungkinkan fleksibilitas interpretatif tetapi juga membuka peluang bagi politisasi nilai: aktor politik dapat memilih interpretasi yang menguntungkan kepentingan tertentu.
Kedua, terdapat ketegangan intrinsik antara tujuan kolektif dan perlindungan hak individu. Negara sering menghadapi dilema ketika kebijakan yang diklaim untuk kepentingan umum berpotensi membatasi hak individu—misalnya kebijakan keamanan nasional, pembangunan infrastruktur, atau kebijakan ekonomi darurat. Menyikapi dilema tersebut memerlukan mekanisme pengujian yang jelas: pembatasan hak harus memenuhi kriteria ketat— diatur oleh undang-undang, bertujuan sah, proporsional, dan disertai kompensasi atau pemulihan bila memungkinkan.
Tantangan ketiga adalah gap antara normatif dan empiris: meskipun mukadimah menegaskan nilai-nilai HAM, realitas praktik kenegaraan kerap memperlihatkan lemahnya penegakan, kebijakan yang eksklusif, serta prioritas fiskal dan politik yang tidak sejalan dengan perlindungan hak.
Perubahan norma formal tanpa reformasi institusional dan budaya birokrasi seringkali menghasilkan legitimasi semu: aturan ada, tetapi pelaksanaannya buruk. Oleh sebab itu, revolusi nilai atau revolusi mental seperti yang menjadi garis besar buku ini harus menyertai reformasi struktural. Perubahan perilaku, pendidikan konstitusional dan penguatan mekanisme akuntabilitas publik menjadi prasyarat agar mukadimah berfungsi efektif sebagai ruh.
Keempat, aspek pluralitas sosial dan perbedaan interpretasi nilai menjadi parameter yang penting. Indonesia sebagai negara majemuk menghadirkan keragaman pemahaman atas konsep-konsep seperti keadilan, martabat, dan kesejahteraan spiritual.
Penerapan mukadimah sebagai ruh HAM menuntut dialog publik yang inklusif sehingga penafsiran konstitusional tidak menjadi monopoli segelintir elit. Proses deliberatif yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan aktor lokal dapat memperkaya pemahaman bersama dan memperkuat legitimasi interpretasi yang mengedepankan HAM.
Jakarta, 17 Agustus 2025
Penulis adalah Komisi Hukum, HAM & Advokasi PP PGLII