Majalahgaharu Jakarta. Ada yang beda pagi hingga siang tepatnya di Aula Kampus STT IKAT Jakarta, Jalan Rempoa Permai No. 2, Jakarta Selatan, Jumat (12/9). Di mana kedatangan seorang Bikkhu yang merupakan tokoh agama Budha. Padahal ini di sebuah kampus yang mendidik calon pendeta ataupun pendidik agama Kristen.
Lantas apa maksud kedatangan Bikkhu, tak lain agar mahasiswa teologia ini bisa mengenal ajaran agama lain sekaligus bisa belajar kelebihann ajaran Budha lewat Bikkhu tersebut. Di mana pertemuan tersebut di kemas dalam kuliah umum bertajuk tema “Kristen dan Budha Merawat Nalar Bangsa dalam Peradaban Damai.”
Dalam kuliah umum tersebut dihadirkan narasumber utama, Bhikkhu Dhammasubho Mahathera, memaparkan materi “Kebijaksanaan dan Nalar Sehat dalam Tradisi Budha untuk Kehidupan Bangsa.” Ia menegaskan, perbedaan agama di Indonesia jangan jadi ajang ribut atau dibanding-banding tetapi akan lebih sejuk jika disandingkan dalam semangat kebersamaan.
“Dasar kita jelas: Pancasila dan UUD 1945. Itu yang bikin bangsa ini bisa rukun. Kalau semua agama praktikkan kebijaksanaan masing-masing, peradaban damai pasti tercipta,” tandas Bhikkhu.
Lewat paparannya Bikkhu Dammasubho yang pernah mendapat penghargaan dari Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) Indonesia kategori figur penjaga keberagaman bercerita panjang tentang kisah perjalanan Sidarta Gautama pemimpin Budha di mana dalam pencarian hidupnya melalui tiga era atau waktu di mulai dari seorang anak raja yang serba kecukupan, lalu mencari jati diri dengan pengenalan akan alam dalam laku bertapa. Kemudian menemukan inti ajaran yakni erupa salam atau sapaan bahwa semua makluk berbahagia.
Kuliah umum hasil kerjasama STT IKAT Jakarta dan PEWARNA ini hadir Ketua Umum Perwarna Indonesia Yusuf Mujiono dan Rektor STT IKAT Dr. Jimmy M.R. Lumintang, MBA., Ph.D. Keduanya memberi apresiasi atas upaya membangun dialog lintas iman yang menyejukkan.
Menarik dalam sesi tanya jawab banyak peserta yang mengajukan pertanyaan salah satunya dosen STT IKAT yang bertanya tentang perempuan Budha apa ada yang menjadi pemimpin. Ada juga peserta mahasiswa S-1 yang terkesan menurutnya, kegiatan kuliah kebangsaan ini penting karena menempatkan agama maupun tradisi humanis dalam bingkai yang sama: menjunjung tinggi persatuan.
“Indonesia plural, tapi NKRI harga mati. Justru lewat dialog seperti ini kita belajar, perbedaan bisa jadi kekuatan,” ucapnya.
Kuliah umum lintas iman ini rencananya bakal jadi agenda rutin. Harapannya, dunia kampus bisa terus jadi motor perawat kerukunan bangsa.
Penulis Yusuf m

