JakartaImajalahgaharu.comI Berbicara dalam konteks perceraian menurut Pendeta Sri Yuliani yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris eksekutif bidang keesaan dan pembaharuan Gereja (KPG) di PGI adalah bukan persoalan bagaimana data menunjukan bahwa perempuan lebih banyak menggugat cerai. Lebih bijak, menurutnya jika memandang mengenai perceraian itu bahwa saat ini sudah terjadi pergeseran dimana banyak perempuan yang telah mengalami perubahan pola berpikir. Sebenarnya dahulu wanita juga sudah banyak yang mengalami masalah dalam rumah tangganya.
Tetapi karena budaya dan nilai-nilai yang ditanamkan dari sejak dahulu bahwa perempuan tidak boleh berbicara harus diam dan akhirnya banyak menutup diri padahal rumah tangganya bermasalah.
Dan perempuan lebih banyak memilih diam agar aib mereka tidak diketahui orang lain.
Saat ini banyak orang sudah sadar bahwa mereka punya hak untuk berbicara, jadi mereka sudah mulai berani mengatakan bahwa rumah tangganya sedang bermasalah dan mengungkapkan bahwa ini bukan aib.
Sebenarnya akan jauh lebih baik jika terbuka di public dengan mengatakan yang sebenarnya karena akan mendapatkan pertolongan segera mungkin dari pada mempertahankan perkawainan, apalagi jika mereka memakai agama “ayat alkitab”tetapi justru menderita.
Bahkan ada beberapa pasangan yang istri meninggal di tangan suaminya sendiri.
Memang untuk terbuka itu butuh keberanian karena dikalangan orang-orang Kristen sendiri masih menganggap bahwa perceraian itu adalah aib, perceraian dilarang agama. Tetapi, katanya, konsep mengenai perceraian/ surat cerai itu harus di tafsirkan ulang. (selengkapnya baca di majalah Gaharu)