Jakarta, majalahgaharu.com Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati pada 20 Mei, adalah peringatan lahirnya organisasi Budi Utomo (Boedi Oetomo) pada 1908. Organisasi yang didirikan Dr. Soetomo dan para Pelajar STOVIA; School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, di antaranya Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeraji, Suryadi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan Dr Wahidin Soedirohusodo.
Organisasi yang awalnya bergerak dibidang sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan ini, dalam perkembangannya sejak tahun 1915, bergerak dibidang politik. Sebuah perubahan yang dipicu dari meletusnya perang dunia I, 1914.
Dimulai dengan tuntutan dibentuknya Lembaga Perwakilan Rakyat, di mana Boedi Oetome menjadi representasi perwakilan pribumi, maka pada 18 Mei 1918, Gubernur Jenderal Van Limburg menyetujui usul tersebut dan Suratmo Suryokusumo menjadi perwakilan Boedi Oetomo dalam vorskraat. Dan sejak itulah, semangat persatuan dan nasionalisme dimulai. Boedi Oetomo menjadi sebuah penanda gerakan kebangsaan dengan cita-cita menjadi negara merdeka.
Memperingati 111 tahun setelah gerakan kebangsaan tersebut dimulai, di tengah situasi sosial politik pasca pilpres 2019, seakan menjadi gugatan pada kehidupan membangsa kita saat ini. Pilpres telah membelah masyarakat. Polarisasi mengeras di atas pilihan-pilihan politik yang berkelindan dengan identitas primordial agama dan etnik yang ditunggangi oleh kepentingan oligarki. Bahkan munculnya gerakan mengganti ideologi Pancasila menjadi khilafah pada golongan kelompok masyarakat tertentu.
Imajinasi kebangsaan yang sejak semula dirajut di atas kemajemukan sebagai landasan dalam menghidupi kesadaran nasionalisme, sebagaimana dikatakan Benedict Anderson, suatu konstruk ideologis diskursif yg dengannya bangsa itu dibayangkan. Dan imajinasi itu sebagaimana beragamnya unsur sosial, baik etnis, agama, kelas sosial, gender, seksual, adalah basis reflektif bernegara-bangsa. Namun, kini menjadi potret buram dalam kehidupan membangsa. imajinasi berbangsa itu telah mengalami patahan, bengkokan dan bahkan keterpecahan yang terancam wajah garang dan kekerasan yang tampil vulgar diatas radikalisme agama, primordialisme etnik dan oportunisme kekuasaan.
Merajut Kembali Hidup Membangsa.
Di tengah keterbelahan yang terjadi di tengah masyarakat, peringatan hari Kebangkitan Nasional haruslah menjadi momentum merajut kembali persatuan dalam hidup membangsa kita. Semangat persatuan yang dengan tulus ditanamkan oleh para pendiri bangsa 111 tahun lalu adalah panggilan kesejarahan pada kehidupan berbangsa.
Panggilan membangsa bagi ke-Indonesiaan adalah proses yang menyeru: “Kami Bangsa Indonesia”, yang menjadi cikal-bakal Indonesia merdeka, yang pernah mewujud dalam tafsir kultural Soekarno-Hatta yang membahasakan kata “Merdeka” berarti menjadi manusiawi dengan menghormati harkat tiap warganegara.
(Penrad Siagian, Direktur Paritas Institute – Jakarta)