Jakarta, majalahgaharu.com Indonesia tak pernah dijajah merupakan buku karya Batara Hutagalung, Prof Dr Marthen Napang salah satu penanggap dari tiga professor antaranya Prof. Taufik Abdulah dan Prof. Makarim Wibisono duta besar PBB, bagi guru besar UNHAS ini memberi paparannya, kehadiran Buku ini merupakan literatur utama dalam memperkaya dan meluruskan fakta sejarah masa lalu. Bedah buku yang diselengarakan di Gedung K1 Nusantara komplek Senayan Jakarta Senin 19/8/19 dihadiri kolega dan sahabat dari Batara Hutagalung putra dari Pahlawan Nasional Weliater Hutagalung.
“Saya kira sejarah ini bicara tiga dimensi yaitu masa lalu, masa kini dan bagaimanan membaca masa depan. Keberadan Belanda di Nusantara lewat VOC motivasinya masuk ke Indonesia adalah motivasi dagang. Demikian juga Spanyol dan Portugis sama motivasinya,” tanggapnya.
Mulai kehadiran VOC dalam rangka mencari komuditas bumi yang melimpah ruah hasil bumi, yang sangat diperlukan di Eropa. Mula-mula berlaku praktek monopoli. Lama kelamaan untuk mempertahankan monopoli maka diturunkan tentara Belanda.
Bagi Guru Besar yang juga Penasehat Persatuan Wartawan Nasrani ini pada masa Jepang dengan Perang Asia Timur Raya, mereka keberadaan Belanda tidak boleh ada di Asia Timur Raya. Jepang masuk ke Indonesia bukan untuk menjajah, tetapi menggusur Belanda.
“Suasana PD I dan PD II memang ada doktrin Presiden Wilson dari AS yang menyatakan; The Right Determination atau hak menentukan nasib sendiri. Ini keluar karena ada kecenderungan pemenang Perang untuk membagi-bagi wilayah yang dikuasainya. Maka Wilson menetapkan hak untuk menentukan sendiri,” urainya.
Saat di Liga Bangsa-Bangsa (LBB) usulan ini kurang disambut. Namun ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) usulan Presiden Wilson ini masuk dalam konstitusi pendirian PBB. Hak menentukan nasib sendiri, hak membentuk pemerintahan sendiri dan kemudian hak menentukan bergabung satu negara atau memisahkan diri sendiri. Maka sesungguhnya tidak ada penjajahan yang ada masa itu pendudukan.
Dengan demikian kemerdekaan Indonesia berdasarkan prinsip pendudukan bukan dari penjajahan, tapi pendudukan pemenang perang. Tidak semua negara lahir dari penjajahan. Karena itu harus dibedakan penjajahan dan pendudukan.
“Ciri utama penjajahan, terdapat penguasan efektif atas wilayah dan penduduk. Kedua, tidak ada perlawanan fisik dri penduduk yang dijajah. Sedangkan pendudukan ciri utama dalaj terdapat penguasaan bagian tertentu dari wilayah dan penduduk. Kedua ada perlawanan-perlawanan penduduk. Perlawanan seperti itu menjadi tidak ada penguasaan efektif,” beber professor yang lagi ikut seleksi KPK ini.
Maka dari itu, kata mantan ketua PIKI mengatakan bahwa perlawanan-perlawanan ke pasukan Belanda membuktikan tidak ada penguasan efektif semua wilayah dan penduduk Indonesia. Dengan demikian tidak ada penjajahan Belanda di dalam nusantara ini. Sebab tidak ada penguasaan efektif,” tutur Advokat senior ini.
Setelah Indonesia merdeka baru ada Agresi Militer Belanda. Seperti dijelaskan di atas tradisi pemenang perang kecendetungan membagi wilayah yang didudukinya kemudian melahirkan perlawanan 10 Nopember di Surabaya, Penembakan massal di Rawagede dan kasus Westerling. Dalam kondisi Indonesia mengalami Agresi Militier Belanda, ada yang mengatakan bahwa itu sama dengan kejahatan perang.
“Saya kira kita bisa memberi apresiasi lebih kepada pahlawan yang menjadikan Indonesia tidak pernah dijajah seperti Dipanegoro, Sisingamangaraja, Iman Bonjol dan lainnya. Menurut hemat saya para pahlawan yang melawan bangsa asing melalui pendudukan harus lebih dihormati daripada pahlawan kemerdekaan,” tegasnya.
Acara bedah buku kali ini berlangsung hampir empat jam lebih. Selain dihadiri tokoh penting seperti Taufikrahman Ruki (eks KPK), Marsekel (Purn) Imam Safaat, Edison Simanjuntak, Indra Piliang (pengamat politik dan sejarawan) para diplomat, guru dan pelajar SMA, peserta sangat antusias terbukti dengan banyanya peserta yang mengajukan pertanyaan.
Oleh salah satu peserta Caniago namanya, memberikan saran agar setelah bedah buku ini hasilnya diserahkan kepada DPD atau DPRI agar dipakai bahan masukan untuk pelurusan sejarah. Sedangkan Batara sendiri dengan terbitnya buku ini diharapkan menambah spirit bangsa Indonesia agar percaya diri tidak sebagai bangsa yang terjajah satu setengah abad tetapi menjadi bangsa pemenang.