Bye Prof Thomas Pentury
Majalahgaharu Jakarta Pada hari Sabtu 27 Mei yang lalu, saya menghadiri acara pengukuhan seorang guru besar (Profesor) dalam bidang teologi publik, kebetulan beliau adalah teman sekolah saya pada waktu SMA di Ambon. Pidato pengukuhan guru besarnya mengambil tema “Pluralisme Agama, Teologi Politik Reformed, dan Kemaslahatan Bangsa”.
Sangat akademik dan menarik pidato pengukuhan guru besar itu, karena saya untuk pertama kali menghadiri pengukuhan seorang guru besar dalam bidang teologi yang dilahirkan oleh Kementerian Agama. Bagi saya secara pribadi memang tema ini memberikan nuansa kebangsaan yang luar biasa, bahkan beberapa tokoh nasional kelihatan hadir pada acara tersebut.
Dalam paparan pidato ilmiahnya ada hal yang menggelitik nalar saya terkait pandangan dua filsuf yang pemikiran dan pandangannya keliatan berbeda dan itu di “bedah” secara akademik oleh Profesor Benjamin Intan. Adalah Nicholas Wolterstorff, yang lahir pada tahun 1932 di kota Bigelow, Minnesota, Amerika Serikat, yang dikenal sebagai salah satu pemikir Kristen kontemporer terkemuka pada masa itu, dan Jürgen Habermas yang adalah seorang filsuf dan sosiolog Jerman yang lahir di kota Dusseldorf pada tahun 1929.
Dalam pidato ilmiah yang sangat akademik itu Prof Ben sapaan saya mengutip pandangan Nicholas Wolterstroff yang adalah seorang penganut principled pluralist, disebutkan bahwa Wolterstroff “membolehkan sumbangsih agama menggunakan bahasa religius bukan hanya pada tataran ruang publik yang informal dan umum tetapi juga pada ruang publik yang formal dan resmi” (hal 28 buku pengukuhan guru besar-atas nama Prof Benyamin F Intan). Dalam pandangan Habermas jika agama masuk ke ruang publik formal dengan gagasan dan bahasa religiusnya, maka rancangan politik akan sangat mungkin dikuasai oleh penganut agama mayoritas sehingga akan muncul represi terhadap kelompok minoritas.
Tentunya ada derivasi yang dibuat oleh orator dalam merespon perdebatan Habermas dan Wolterstroff yang merujuk pada pandangan Kuyper (Abraham Kuyper 1837-1920) seorang teolog, filsuf, politikus, dan pemimpin politik Belanda, yang terkemuka dalam gerakan politik Calvinis atau Neo-Kalvinisme. Saya ingin memberikan pandangan terkait dua filsuf ini, mengapa pandangan mereka saling bernegasi, dan apa saja yang menjadi dasar pemikiran mereka?.
Pemikiran utama Nicholas Wolterstorff yang membentuk landasan dialektika dalam bidang Teologi, Filsafat, dan Etika adalah yang berkorelasi erat dengan Teologi Reformed, Teori Keadilan Restoratif, Hubungan antar Agama pada Ruang Publik, Pluralisme dan Dialog antar Agama, Keadilan sebagai cinta, serta Estetika dan Seni. Teologi Reformed dalam pandangan Wolterstorff, memainkan peran penting dalam pembentukan kerangka pemikiran tentang Iman Kristen dan bagaimana iman itu berkaitan dengan dunia dan kehidupan sehari-hari.
Teologi Reformed menurutnya memberikan landasan dan arah yang mempengaruhi berbagai pemikirannya tentang etika, politik, keadilan, dan hubungan antar agama. Wolterstorff memahami bahwa Teologi Reformed (Calvinis) adalah sebuah kerangka teologis yang menjadi landasan pemikiran dan keyakinan-nya, menurutnya teologi reformed ini berakar pada tradisi Ke-Kristen yang berasal dari Reformasi Protestan pada abad ke-16, yang dipelopori oleh John Calvin dan Martin Luther.
Teologi Reformed menawarkan kerangka pemahaman tentang iman Kristen yang menyeluruh dan terintegrasi dalam segala aspek kehidupan. Ia mengadopsi pendekatan ini untuk memahami dan mengartikulasikan keyakinannya tentang Allah, keselamatan, kehidupan beragama, etika, politik, dan aspek-aspek lainnya. Menurutnya ada beberapa elemen kunci dalam Teologi Reformed yang harus menjadi perhatian utama :
- Kedaulatan Allah. Wolterstorff memandang Allah sebagai pemilik dan penguasa mutlak dari segala sesuatu. Keyakinan akan kedaulatan Allah ini menjadi fondasi bagi pemikirannya tentang bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup mereka dan membangun relasi dengan Allah dan sesama.
- Iman Kristen yang Menyeluruh. Wolterstorff menekankan pentingnya iman Kristen yang mencakup semua aspek kehidupan, termasuk pemahaman tentang Allah, moralitas, hubungan dengan sesama manusia, dan tanggung jawab sosial.
- Penerapan Iman dalam Kehidupan. Ia juga menekankan perlunya menerapkan iman Kristen dalam semua aspek kehidupan sehari-hari, termasuk dalam konteks sosial, politik, budaya, dan estetika. Pandangannya bahwa iman Kristen harus mempengaruhi cara manusia berperilaku dan terlibat dalam dunia di sekitar manusia itu.
Pandangan Wolterstorff dalam kaitan dengan hubungan antar agama dalam ruang publik, adalah sebuah konsep yang menekankan pentingnya dialog, interaksi, dan kerjasama antara penganut agama yang berbeda dalam ranah publik atau masyarakat secara umum. Wolterstorff juga berpendapat bahwa dalam masyarakat yang pluralistik, agama-agama yang berbeda harus diakui dan dihormati dalam perdebatan dan diskursus publik. Ia mendorong adanya dialog antar agama yang saling menghormati dan terbuka, di mana perbedaan keyakinan dan pandangan dapat dibahas secara terbuka tanpa adanya diskriminasi atau pengecualian. Tentunya Ia melihat dialog antar agama sebagai sebuah peluang untuk saling belajar dan memperdalam pemahaman tentang keyakinan dan nilai-nilai masing-masing agama.
Dalam konteks ruang publik, Wolterstorff menganggap penting bahwa suara-suara agama memiliki tempat yang sah dalam diskursus moral dan etis. Pandangannya bahwa agama-agama memiliki kontribusi yang berharga dalam membentuk kesadaran moral dan norma-nilai yang harus diadopsi oleh masyarakat secara luas.
Penting untuk menjadi diskusi ini adalah bahwa pandangan Wolterstorff tentang hubungan antar agama dalam ruang publik juga mengakui bahwa masyarakat sekuler dan non-agamis, memiliki peran dan suara yang valid dalam diskusi publik. Ia mendukung pendekatan inklusif yang melibatkan semua pihak dalam dialog dalam mencari pemahaman bersama, tanpa merendahkan atau mendiskriminasi pihak-pihak yang tidak memiliki keyakinan agama.
Dengan demikian, pandangan Wolterstorff tentang hubungan antar agama dalam ruang publik menekankan pentingnya dialog, saling menghormati, dan kerja sama antara penganut agama yang berbeda dalam mencapai pemahaman bersama dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.
Wolterstorff memandang pluralisme adalah keadaan di mana terdapat keberagaman keyakinan agama di masyarakat. Pluralisme adalah sebuah pengakuan dan penerimaan bahwa ada berbagai tradisi agama yang berbeda di dalam masyarakat, dan semua keyakinan ini memiliki hak yang sama untuk diakui dan dihormati. Pendekatan dialog antar agama sebagai cara untuk menangani pluralisme agama, dimana terjadi interaksi dan pertukaran gagasan antara penganut agama yang berbeda, dengan tujuan untuk memperdalam pemahaman tentang keyakinan dan praktik agama masing-masing, serta mencari kesamaan dan pemahaman bersama.
Melalui dialog antar agama, Wolterstorff yakin bahwa masyarakat dapat membangun kepercayaan, saling pengertian, dan kerja sama yang erat di antara penganut agama yang berbeda. Prosesi dialog akan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan perbedaan, menghindari konflik, dan mempromosikan kerukunan antar agama.
Pandangan Wolterstorff terkait pluralisme dan dialog antar agama, pada prinsipnya adalah inklusivitas dan penghargaan terhadap martabat setiap individu dan komunitas agama. Ia mengakui bahwa agama memiliki peran penting dalam membentuk identitas individu dan komunitas, serta dalam membentuk pandangan etis dan moral. Oleh karena itu, Wolterstorff mendorong dialog dan kerja sama yang saling menghormati untuk mencapai pemahaman bersama dan membangun masyarakat yang inklusif dan berdampingan harmonis.
Tujuannya adalah untuk mempromosikan toleransi, saling pengertian, dan kerjasama di antara penganut agama yang berbeda, dengan harapan dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan damai.
Tiga dasar pemikiran utama Wolterstorff ini yang kemudian akan di diskusikan dengan pemikiran utama Jurgen Habermas.
Pemikiran utama Jürgen Habermas mencakup konsep dan teori yang membentuk dasar dialektika dalam bidang Sosial, Politik, dan Filsafat. Pemikiran utama Habermas, adalah Teori Tindakan Komunikatif, Komunikatif dan Tindakan Komunikatif, Ruang Publik, Demokrasi Deliberatif, Kritik terhadap Kapitalisme dan Modernitas serta Etika Diskursif.
Teori Tindakan Komunikatif (Communicative Action Theory) adalah konsep utama yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas dalam karyanya. Teori ini adalah upaya untuk menjelaskan bagaimana komunikasi manusia berkontribusi pada pembentukan Pengetahuan, Identitas, dan Koordinasi Sosial. Dalam teori ini, Habermas berargumen bahwa tindakan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan individu, tetapi juga oleh norma dan asumsi yang terbawa dalam proses komunikasi. Habermas melihat komunikasi sebagai mekanisme utama di mana tindakan kooperatif dan koordinasi sosial dapat terjadi.
Habermas menggambarkan tiga konsep sentral dalam Teori Tindakan Komunikatif yaitu.
- Komunikasi Ideal. Habermas mengusulkan adanya komunikasi ideal, di mana individu berinteraksi dengan tujuan mencapai pemahaman dan kebenaran bersama. Dalam komunikasi ideal, argumen-argumen diajukan, dipertukarkan, dan dinilai secara rasional tanpa adanya dominasi atau paksaan.
- Tindakan Komunikatif. Tindakan komunikatif terjadi ketika individu berkomunikasi secara rasional dan bertujuan untuk mencapai pemahaman bersama. Tindakan komunikatif didasarkan pada norma-norma komunikasi yang berlaku, seperti asas kesetaraan partisipan, kebebasan ekspresi, dan norma kebenaran.
- Rekonstruksi Ideal. Habermas mengusulkan rekonstruksi ideal, yaitu proses di mana norma-norma dan asumsi yang mendasari komunikasi dievaluasi secara kritis dan dibentuk kembali untuk mencapai komunikasi yang lebih rasional dan adil.
Teori ini berimplikasi politik yang kuat, karena Habermas melihat komunikasi rasional dan dialog yang bebas sebagai prasyarat penting untuk demokrasi dan keadilan sosial.
Demokrasi Deliberatif (Deliberative Democracy) adalah konsep yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas dalam pandangannya tentang demokrasi. Ia mengusulkan model demokrasi yang berpusat pada dialog rasional dan diskusi publik yang inklusif untuk mencapai keputusan politik yang lebih adil dan berdasarkan kesepakatan bersama.
Menurut Habermas, dalam Demokrasi Deliberatif, keputusan politik yang demokratis tidak hanya didasarkan pada kepentingan dan preferensi individu, tetapi juga melibatkan proses komunikasi yang memungkinkan pertukaran argumen dan pertimbangan rasional di antara warga negara. Dalam ruang publik yang inklusif, semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam diskusi dan mempengaruhi pembentukan keputusan politik. Pendekatan ini menekankan pentingnya argumen yang rasional, penggunaan bahasa yang jelas, dan kesediaan untuk mendengarkan pandangan yang berbeda.
Habermas berpendapat bahwa melalui dialog dan diskusi yang terbuka, warga negara dapat mencapai kesepakatan yang berasal dari kepentingan umum dan keadilan sosial. Konsep Demokrasi Deliberatif Habermas juga mengkritik bentuk demokrasi yang hanya berfokus pada mekanisme politik formal, seperti pemilihan atau representasi. Menurutnya, demokrasi yang lebih substansial dan inklusif harus mencakup ruang bagi partisipasi aktif warga negara dalam proses pembentukan keputusan melalui dialog rasional.
Pemikiran Jürgen Habermas terakit “Ruang Publik” (Public Sphere), merujuk pada konsep sosial dan politik yang mencakup ruang di mana warga negara secara bebas dapat berkumpul, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam diskusi publik yang melibatkan masalah-masalah politik dan masyarakat. Menurutnya, ruang publik adalah arena tempat warga negara bertemu sebagai individu yang setara untuk berbagi informasi, berdebat, dan membentuk opini publik. Ini adalah ruang di mana argumen-argumen dapat diajukan, dipertukarkan, dan dinilai secara rasional tanpa adanya tekanan atau dominasi. Habermas menggambarkan ruang publik sebagai “sphere of common communication” di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam diskusi dan membentuk opini yang relevan dengan kehidupan politik dan masyarakat.
Ruang publik dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk debat publik, media massa, perkumpulan masyarakat, dan forum-forum online. Habermas menekankan bahwa ruang publik yang sehat adalah yang terbuka bagi partisipasi aktif dan inklusif dari semua warga negara, tanpa adanya dominasi oleh kelompok-kelompok tertentu atau kepentingan khusus.
Habermas menganggap ruang publik sebagai fondasi penting bagi demokrasi yang substansial, karena melalui diskusi dan dialog publik, warga negara dapat membentuk opini publik yang informatif dan mempengaruhi pembentukan kebijakan politik. Dia melihat ruang publik sebagai tempat di mana ide-ide dan argumen-argumen dipertukarkan, dan keputusan politik yang dihasilkan mencerminkan kepentingan umum dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam pemikirannya, ruang publik yang kuat dan aktif adalah salah satu aspek penting dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan partisipatif
Diskursus nya adalah perbedaan pandangan konsep ruang publik menurut Jürgen Habermas dan Nicholas Wolterstorff. Meskipun keduanya menganggap ruang publik sebagai hal penting dalam konteks sosial dan politik, akan tetapi mereka memiliki pendekatan yang sedikit berbeda.
Menurut Jürgen Habermas, ruang publik adalah arena di mana individu bebas berkumpul, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam diskusi dan debat rasional untuk mencapai pemahaman bersama dan pembentukan opini publik. Habermas menekankan pentingnya dialog rasional dan diskusi bebas dalam mencapai kesepakatan yang demokratis dan keputusan yang baik. Bagi Habermas, ruang publik ideal harus terbuka untuk semua warga, di mana mereka dapat berpartisipasi tanpa tekanan atau dominasi dari kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
Pada sisi yang lain, Nicholas Wolterstorff memiliki pendekatan yang lebih berfokus pada peran agama dalam ruang publik. Baginya, ruang publik harus mengakui dan menghargai kontribusi agama dalam diskursus moral dan etis. Wolterstorff memperjuangkan pengakuan terhadap pluralisme agama dan pentingnya dialog antar agama dalam upaya membangun pemahaman bersama. Ia berpendapat bahwa ruang publik harus mencakup kebebasan beragama dan memungkinkan berbagai keyakinan agama untuk diungkapkan dan diperdebatkan dalam diskusi publik.
Dalam hal ini, perbedaan utama terletak pada fokus Habermas yang lebih luas yakni dialog rasional dan diskusi bebas tanpa tekanan kepentingan tertentu, sementara Wolterstorff lebih menekankan pengakuan terhadap kontribusi agama dan dialog antar agama dalam konteks ruang publik
Pandangan Habermas tentang agama dapat di-karakterisasi sebagai pendekatan yang kompleks dan berkembang seiring waktu. Habermas mengadopsi pandangan yang lebih kritis terhadap agama, Ia melihatnya sebagai bentuk pengaruh ilusi dan otoritarianisme dalam masyarakat. pengakuan bahwa agama memiliki peran penting dalam kehidupan publik, terutama dalam konteks masyarakat yang pluralistik.
Habermas berpendapat bahwa agama harus diakui sebagai bagian dari pluralitas budaya dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan bahwa dialog saling pengertian antara agama dan sekularisme diperlukan untuk membangun kerangka kerja kehidupan bersama.
Dalam pandangan Habermas, agama memiliki kontribusi potensial dalam memberikan justifikasi moral dalam diskusi publik. Meskipun ia sendiri adalah seorang pemikir sekular, Habermas mengakui bahwa agama dapat menyediakan sumber-sumber moral yang berharga yang dapat berkontribusi pada pembangunan etika dan prinsip-prinsip sosial yang bersama-sama diterima oleh masyarakat yang beragam. Habermas menekankan bahwa agama juga harus menerima kritik dan berdialog dengan pandangan sekular dan non-agama lainnya. Ia mengusulkan bahwa dalam masyarakat demokratis, argumen-argumen yang bersumber dari agama harus diajukan dalam bahasa umum yang dapat diakses oleh semua warga negara, dan harus dapat diperdebatkan dalam semangat dialog rasional dan saling menghormati.
Pendekatan Habermas terhadap agama dapat disimpulkan sebagai pengakuan terhadap pentingnya kebebasan beragama dan keragaman dalam masyarakat, serta perlunya dialog dan saling pengertian antara agama dan pandangan sekular untuk mencapai masyarakat yang inklusif dan adil.
Meskipun tidak ada catatan langsung mengenai keberatan-keberatan Jürgen Habermas terhadap pemikiran Nicholas Wolterstorff, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan antara pandangan keduanya yang mungkin mencerminkan ketidaksepakatan atau perbedaan pendekatan dalam beberapa aspek.
Salah satu perbedaan terletak pada peran agama dalam ruang publik. Habermas cenderung memiliki pandangan yang lebih skeptis terhadap peran agama dalam diskusi dan pengambilan keputusan di ruang publik. Dalam pemikirannya tentang “masyarakat komunikatif,” Habermas menekankan pentingnya komunikasi rasional dan argumentasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip umum yang dapat diterima oleh semua warga negara, terlepas dari keyakinan agama mereka. Dalam pandangan itu, pembenaran argumen dan keputusan publik harus mengacu pada norma-norma rasional dan keadilan yang dapat dipahami dan diakui secara universal.
Pada sisi yang lain, Wolterstorff sebagai seorang pemikir Kristen, lebih menekankan pada peran agama dan keyakinan dalam memberikan sumbangan moral dan etis dalam masyarakat. Ia berpendapat bahwa keyakinan agama dan nilai-nilai agama harus diakui dan didiskusikan dalam konteks dialog dan perdebatan publik, dan bahwa agama memiliki peran penting dalam membentuk diskursus moral dan etis.
Perbedaan lain terletak pada pemahaman mereka tentang sumber-sumber normatif. Habermas cenderung lebih mengutamakan argumen-argumen yang dapat dipahami secara rasional oleh semua pihak yang terlibat, sementara Wolterstorff mengakui pentingnya keyakinan agama dan otoritas agama dalam memberikan landasan moral dan etis. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan mereka, penting untuk diingat bahwa keduanya adalah pemikir yang menghargai dialog dan saling pengertian. Meskipun mungkin ada perbedaan pandangan, upaya untuk mendengarkan dan berdialog dengan pemikiran-pemikiran mereka yang berbeda dapat memberikan kesempatan bagi perkembangan pemahaman yang lebih baik.
Secara umum, perbedaan pandangan antara Jürgen Habermas dan Nicholas Wolterstorff dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Peran Agama dalam Ruang Publik. Habermas cenderung memiliki pandangan skeptis terhadap peran agama dalam diskusi dan pengambilan keputusan di ruang publik. Ia lebih menekankan pada komunikasi rasional yang didasarkan pada prinsip-prinsip umum yang dapat diterima secara universal, sementara Wolterstorff mengakui peran penting agama dan keyakinan dalam memberikan sumbangan moral dan etis dalam masyarakat.
- Sumber Normatif. Habermas lebih mengutamakan argumen-argumen yang dapat dipahami secara rasional oleh semua pihak yang terlibat dalam diskusi publik. Wolterstorff, sebagai pemikir Kristen, mengakui pentingnya keyakinan agama dan otoritas agama dalam memberikan landasan moral dan etis.
- Pendekatan Metodologis. Habermas menganut pendekatan filosofis yang lebih sekuler dan berorientasi pada pemahaman umum yang dapat diterima. Wolterstorff, sebagai seorang teolog, mengintegrasikan keyakinan agama dalam pemikirannya dan lebih fokus pada pandangan Kristen dalam merumuskan pemikirannya tentang etika, keadilan, dan agama.
Meskipun ada perbedaan dalam pandangan mereka, penting untuk dicatat bahwa kedua filsuf ini menghargai dialog dan saling pengertian. Keduanya memiliki perhatian yang kuat terhadap keadilan dan nilai-nilai moral dalam masyarakat, meskipun mereka memiliki penekanan yang berbeda dalam hal peran agama. Penting untuk memperhatikan bahwa perbedaan pendapat dan pandangan ini adalah bagian dari keragaman pemikiran dalam konteks filsafat dan teologi, dan memahami perbedaan ini dapat memperkaya pemahaman kita tentang isu-isu yang kompleks dalam masyarakat modern.
Dosen & Pengamat Sosial Kemasyarakatan